Thursday 28 June 2018

Hitung Cepat Sudah Usai, Kini Saatnya Hitung Pengeluaran! Hayoo…, Udah Abis Berapa Duit Buat Pilkada?!


Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak telah terlaksana pada Rabu, 27 Juni 2018 kemarin. Secara garis besar, pilkada berjalan cukup kondusif. Kendala dan kekurangan pastilah ada. Tinggal bagaimana kendala ini diatasi dan dijadikan pelajaran untuk pelaksanaan pemilu selanjutnya.
Menarik untuk mengikuti perjalanan pilkada di edisi 2018 ini. Karena dari 171 daerah yang kebagian jatah untuk memilih pemimpin yang baru, beberapa diantaranya merupakan provinsi ‘besar’. Besar di sini barangkali relatif. Namun apabila dilihat dari jumlah penduduknya, maka provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, memang dapat dianggap sebagai provinsi besar.
Tiga provinsi di tanah Jawa tersebut, mempunyai posisi yang cukup signifikan, terutama jika berbicara soal pemilihan presiden 2019 tahun depan. Ketiganya memiliki jumlah pemilih terbanyak. Hingga muncul anggapan, bahwa dengan menguasai ketiga provinsi ini, maka kemenangan di pilpres sudah pasti berada dalam genggaman.

Tetapi lupakan sejenak urusan pilpres 2019. Mari kita ngobrol-ngobrol ringan soal pilkada serentak, yang baru saja kita lalui bersama ini. Sampai detik dimana aku menulis artikel ini, perdebatan terkait hasil quick count atau hitung cepat untuk pilkada, masih ramai menjadi topik utama.
Ya, perjalanan proses demokrasi di negeri ini sudah mengenal yang namanya quick count alias hitung cepat sejak 2004 silam. Kala itu, untuk pertama kalinya Indonesia bisa memilih presiden dan wakil presiden secara langsung lewat pemilu.



Peristiwa pilpres secara langsung oleh segenap rakyat ini, merupakan satu sejarah penting di perjalanan kenegaraan kita. Setelah sebelumnya, sebagai rakyat kita semua cuma bisa menonton dari layar televisi. Ketika para wakil rakyat memilih presiden melalui mekanisme Sidang Istimewa MPR.
Pilpres secara langsung pada 2004 lalu, menjadi pengalaman baru bagi segenap masyarakat Indonesia. Dan bukan proses pemilunya saja yang anyar. Publik kemudian turut diperkenalkan dengan quick count.
Quick count adalah sebuah instrumen ilmiah, yang memanfaatkan ilmu statistik. Berupa upaya untuk mencoba mengukur hasil pemilu yang telah dilaksanakan. Quick count berbeda dengan proses hitung manual yang dilakukan oleh panitia pemilihan.

Quick count tidak mengambil seluruh data dari semua Tempat Pemungutan Suara (TPS). Cukup mengambil sejumlah tertentu, yang dianggap representatif untuk mewakili seluruh TPS yang telah diadakan pencoblosan.
Namun patut ditegaskan. Bahwa hasil count bukanlah harga mati. Quick count tetaplah ramalan. Ramalan atas hasil sebuah pemilu. Lalu bagaimana hasil penghitungan resmi? Tetaplah berasal dari proses hitung manual yang diselenggarakan panitia pemilihan atau KPU.
Hingga saat ini, nyaris setiap perhelatan pemilu selalu terdapat lembaga-lembaga survei yang mengadakan hitung cepat alias quick count. Dan yang terbaru, tentu saja pasca pilkada serentak barusan.
Provinsi-provinsi seperti Jabar, Jateng, Jatim, Sumut, dan Sulsel, menjadi beberapa daerah yang baru saja mengadakan coblosan. Ini pun tak luput dari proses quick count. Yah, namanya saja hitung cepat. Kita yang pagi harinya baru mencoblos di bilik suara, ehh…, sore harinya kita sudah bisa mengetahui ‘hasil’ pemilu yang barusan kita jalani. Meskipun cuma ramalan lho, yaa…?!



Diantara kamu pasti ada yang kemarin menjalani pilkada. Entah itu untuk provinsi, maupun untuk kota atau kabupaten. Nah…, gimana? Dari hasil quick count yang terpampang di media, apakah jagoanmu menang…? Atau malak keok? Huahahhaaa…, sabar ya!
Sebagai rakyat (jelata) setidaknya kita telah melaksanakan hak yang kita punyai. Memilih di pemilu merupakan hak yang kita miliki di negara demokrasi ini. Tentu kita berharap, kepala-kepala daerah yang terpilih bisa benar-benar menjalankan amanah. Mampu bekerja, dan mengayomi serta merangkul seluruh kalangan. Tanpa kecuali!
Tetapi kemudian, muncul sebuah ‘bisikan’ di kepalaku. Bisikan ini terinspirasi dari informasi yang kubaca di medsos. Menurut Pak Prabowo, Sudirman Said sampai perlu untuk menggadaikan rumahnya. Demi memiliki dana untuk membayar saksi-saksi yang bekerja di hari pencoblosan kemarin.
Prabowo Subianto sedang berorasi. Pic source: online24jam.com

Kalau kamu belum mudeng, Prabowo yang merupakan ketum Partai Gerindra, sempat melontarkan pernyataan yang menarik. Kita tahu bahwa Sudirman Said menjadi jagoan Gerindra di pilkada Jawa Tengah. Nah, Prabowo sempat berujar bahwa dirinya iba kepada Sudirman, lantaran sampai menggadaikan rumah untuk membiayai kebutuhannya selama mengikuti pilkada (sumber).
Duuhh…, gimana ya? Aku sih jujur, tidak sepenuhnya percaya dengan apa yang disampaikan Prabowo tersebut. Mungkin saja pernyataan ini sengaja dilemparkan, semata untuk mendatangkan rasa iba dan simpati, dan akhirnya berimbas kepada peningkatan suara yang mungkin bisa diperoleh pasangan Gerindra di pilgub Jateng.
Namun apabila pernyataan Prabowo ini memang benar, waahh…, aku semakin yakin bahwa proses demokrasi di negeri ini memang mahal. Ongkos politik yang perlu dikeluarkan oleh seorang politisi jumlahnya memang tidak main-main. Apalagi kalau ia terjun di pemilu atau pilkada.
Baiklah. Sambil menunggu hasil penghitungan manual oleh KPU, kita dapat mencermati sejumlah hasil quick count. Hitung cepat sudah usai. Sekarang, yang perlu dilakukan oleh para peserta pilkada adalah hitung-hitungan pengeluaran. Hayoo…, sudah habis berapa duit tuh, buat ongkos pilkada…?!