Saturday, 21 June 2025

Diskusi Relevansi Perpustakaan di Era Digital

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, perpustakaan melakukan kerja sama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan layanan kepada pemustaka. Oleh karenanya di masa kini, sebuah perpustakaan nyaris tidak bisa berdiri sendiri, tatkala harus menjalankan fungsinya sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa.

Untuk itu, UPT Perpustakaan Proklamator Bung Hatta amat terbuka dengan berbagai pihak dalam rangka menjalin kerja sama demi mengimplementasikan fungsi perpustakaan sesuai yang diamanatkan undang-undang. Salah satunya dengan menghadirkan ruang untuk Radio Republik Indonesia (RRI) Bukittinggi pada Kamis (19/06/2025).

Melalui program dialog luar studio yang bertajuk Inspirasi Kita, RRI Pro 2 Bukittinggi melakukan produksi di Perpustakaan Proklamator Bung Hatta. Acara dialog yang berlangsung pada pukul 14.00 hingga 15.00 wib tersebut, mengusung tema “Perpustakaan di Era Digital: Apakah Masih Relevan?”.

Dialog Inspirasi Kita yang dipandu oleh Muthia Utami ini berjalan dengan menarik. Dua orang narasumber hadir untuk berdiskusi. Dari Perpustakaan Proklamator Bung Hatta, hadir Afrison selaku Ketua Kelompok Substansi Pengembangan, Pengolahan dan Pelestarian Bahan Perpustakaan. Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Sumatera Barat Hasan Achari Harahap, juga turut menghidupkan diskusi kali ini.

Pic source: Tim RRI Bukittinggi

Afrison membuka diskusi dengan pernyataan bahwa perpustakaan masih amat relevan di era digital masa kini. Salah satu yang disampaikannya adalah, bagaimana Perpustakaan Nasional telah berupaya memenuhi kebutuhan informasi bagi segenap masyarakat. Di antaranya melalui penyediaan bahan pustaka berbasis digital. Perpustakaan Nasional menghadirkan layanan e-resources yang bisa diakses pengguna secara online. Selain itu, layanan iPusnas turut tersedia melalui aplikasi yang bisa diunduh di gawai. Hal ini menunjukkan bahwa perpustakaan telah melakukan transformasi untuk menyesuaikan zaman, serta behaviour pengguna perpustakaan yang terus berubah mengikuti perkembangan teknologi.

Afrison juga memaparkan sepak terjang Perpustakaan Proklamator Bung Hatta dalam menghadapi era digital yang turut merambah ke lembaga perpustakaan. Salah satunya dengan digitalisasi bahan perpustakaan, untuk kemudian dilayankan kepada para pemustaka. Hal ini tentu supaya para pemustaka memiliki opsi lain dalam pemanfaatan bahan pustaka, di samping tetap menggunakan buku-buku konvensional.

Sejalan dengan Afrison, menurut Hasan, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) tak ubahnya perpustakaan yang menjalankan fungsi sebagai wahana pendidikan, informasi dan rekreasi untuk segenap masyarakat. Sebagai pegiat literasi yang berada di luar pemerintah, Hasan menyampaikan pandangan yang menarik dalam dialog kali ini. Menurutnya, dalam menjalankan sebuah TBM, ada banyak tantangan yang dihadapinya. Tantangan yang mendasar tentu saja adalah keterbatasan finansial.

Namun, hal itu tak membuatnya patah semangat. Itulah mengapa, sebagai pegiat literasi, Hasan selalu menekankan kepada segenap koleganya bahwa kolaborasi adalah suatu keniscayaan yang wajib diusung. Sebuah TBM atau komunitas literasi, akan eksis dan berkembang jika mau menjalin kerja sama dan berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk dengan pemerintah.

Hasan tidak menampik bahwa saat ini era digital telah memasuki segala lini. Namun, bukan berarti buku-buku fisik akan terlupakan. Pria yang aktif di TBM Rumah Baca Anak Nagari ini kemudian memberikan contoh negara Swedia yang kembali menggunakan buku cetak sebagai media pembelajaran utama di sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa buku konvensional masih amat relevan dipergunakan untuk berbagai keperluan.

Oleh sebab itu, penyediaan buku-buku konvensional di perpustakaan masih sangat relevan. Hal ini untuk menjaga eksistensi lembaga perpustakaan sebagai wahana pendidikan dan penyedia informasi yang valid. Meski begitu, penyediaan koleksi digital juga patut diberi perhatian besar. Transformasi menuju perpustakaan yang berbasis digital sudah pasti memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun, hal ini bukan berarti tidak bisa diwujudkan. Didukung fasilitasi dari pemerintah dan kolaborasi dengan berbagai stakeholder, perpustakaan berbasis digital yang ideal tentu bisa terealisasi.

No comments:

Post a Comment