Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun
2007 tentang Perpustakaan, perpustakaan melakukan kerja sama dengan berbagai
pihak untuk meningkatkan layanan kepada pemustaka. Oleh karenanya di masa kini,
sebuah perpustakaan nyaris tidak bisa berdiri sendiri, tatkala harus menjalankan
fungsinya sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan
rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa.
Untuk itu, UPT Perpustakaan Proklamator Bung Hatta amat
terbuka dengan berbagai pihak dalam rangka menjalin kerja sama demi mengimplementasikan
fungsi perpustakaan sesuai yang diamanatkan undang-undang. Salah satunya dengan
menghadirkan ruang untuk Radio Republik Indonesia (RRI) Bukittinggi pada Kamis
(19/06/2025).
Melalui program dialog luar studio yang bertajuk Inspirasi Kita, RRI Pro 2 Bukittinggi melakukan produksi di Perpustakaan Proklamator Bung Hatta. Acara dialog yang berlangsung pada pukul 14.00 hingga 15.00 wib tersebut, mengusung tema “Perpustakaan di Era Digital: Apakah Masih Relevan?”.
Dialog Inspirasi Kita yang dipandu oleh Muthia Utami ini berjalan
dengan menarik. Dua orang narasumber hadir untuk berdiskusi. Dari Perpustakaan
Proklamator Bung Hatta, hadir Afrison selaku Ketua Kelompok Substansi
Pengembangan, Pengolahan dan Pelestarian Bahan Perpustakaan. Ketua Forum Taman
Bacaan Masyarakat (TBM) Sumatera Barat Hasan Achari Harahap, juga turut
menghidupkan diskusi kali ini.
![]() |
Pic source: Tim RRI Bukittinggi |
Afrison membuka diskusi dengan pernyataan bahwa
perpustakaan masih amat relevan di era digital masa kini. Salah satu yang
disampaikannya adalah, bagaimana Perpustakaan Nasional telah berupaya memenuhi
kebutuhan informasi bagi segenap masyarakat. Di antaranya melalui penyediaan
bahan pustaka berbasis digital. Perpustakaan Nasional menghadirkan layanan e-resources
yang bisa diakses pengguna secara online. Selain itu, layanan iPusnas turut tersedia
melalui aplikasi yang bisa diunduh di gawai. Hal ini menunjukkan bahwa
perpustakaan telah melakukan transformasi untuk menyesuaikan zaman, serta behaviour
pengguna perpustakaan yang terus berubah mengikuti perkembangan teknologi.
Afrison juga memaparkan sepak terjang Perpustakaan
Proklamator Bung Hatta dalam menghadapi era digital yang turut merambah ke lembaga
perpustakaan. Salah satunya dengan digitalisasi bahan perpustakaan, untuk
kemudian dilayankan kepada para pemustaka. Hal ini tentu supaya para pemustaka
memiliki opsi lain dalam pemanfaatan bahan pustaka, di samping tetap
menggunakan buku-buku konvensional.
Sejalan dengan Afrison, menurut Hasan, Taman Bacaan Masyarakat
(TBM) tak ubahnya perpustakaan yang menjalankan fungsi sebagai wahana pendidikan,
informasi dan rekreasi untuk segenap masyarakat. Sebagai pegiat literasi yang
berada di luar pemerintah, Hasan menyampaikan pandangan yang menarik dalam
dialog kali ini. Menurutnya, dalam menjalankan sebuah TBM, ada banyak tantangan
yang dihadapinya. Tantangan yang mendasar tentu saja adalah keterbatasan
finansial.
Namun, hal itu tak membuatnya patah semangat. Itulah mengapa,
sebagai pegiat literasi, Hasan selalu menekankan kepada segenap koleganya bahwa
kolaborasi adalah suatu keniscayaan yang wajib diusung. Sebuah TBM atau komunitas
literasi, akan eksis dan berkembang jika mau menjalin kerja sama dan berkolaborasi
dengan berbagai pihak, termasuk dengan pemerintah.
Hasan tidak menampik bahwa saat ini era digital telah
memasuki segala lini. Namun, bukan berarti buku-buku fisik akan terlupakan. Pria
yang aktif di TBM Rumah Baca Anak Nagari ini kemudian memberikan contoh negara
Swedia yang kembali menggunakan buku cetak sebagai media pembelajaran utama di
sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa buku konvensional masih amat relevan
dipergunakan untuk berbagai keperluan.
Oleh sebab itu, penyediaan buku-buku konvensional di perpustakaan masih sangat relevan. Hal ini untuk menjaga eksistensi lembaga perpustakaan sebagai wahana pendidikan dan penyedia informasi yang valid. Meski begitu, penyediaan koleksi digital juga patut diberi perhatian besar. Transformasi menuju perpustakaan yang berbasis digital sudah pasti memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun, hal ini bukan berarti tidak bisa diwujudkan. Didukung fasilitasi dari pemerintah dan kolaborasi dengan berbagai stakeholder, perpustakaan berbasis digital yang ideal tentu bisa terealisasi.
No comments:
Post a Comment