Kereta api rasanya tidak
terpisahkan dari kehidupanku. Barangkali kalimat tersebut terdengar berlebihan.
Namun, aku memang sungguh familiar dengan moda transportasi yang satu ini.
Sejak masih duduk di bangku SD, aku sudah terbiasa menggunakan sepur (kereta
api, Bahasa Jawa) yang dikelola PT. Kereta Api Indonesia (KAI) tersebut.
Semasa kecil, kedua
orangtuaku kerap membawaku bepergian menggunakan kereta api. Kami berdomisili
di Malang, dan keluarga besar kedua orangtuaku mayoritas tinggal di Blitar.
Dengan kereta api, kami sekeluarga melakukan perjalanan ke Blitar. Entah itu
pada momen mudik Idulfitri, atau saat aku dan kakakku sedang liburan sekolah.
Penataran, adalah rangkaian kereta yang membawa kami dari Malang ke Blitar, maupun sebaliknya. Oh ya, selain akrab dengan kereta Penataran, pada 2005 aku akhirnya merasakan kereta api jarak jauh untuk pertama kalinya. Kereta yang kunaiki tersebut adalah Gajayana. Dari Malang, aku dan ibuku mengunjungi saudara di Jakarta. Wuahh … pengalaman itu masih membekas di benakku.
Waktu silih berganti, namun
kereta api tak pernah absen memberiku pengalaman-pengalaman yang luar biasa.
Salah satu yang mengesankan tentu saja saat aku melakukan perjalanan balik dari
Malang ke Jakarta pada Idulfitri barusan. Aku berangkat dari Stasiun Malang
menuju Stasiun Gambir, mengendarai kereta Brawijaya.
Brawijaya, hhmm, nama yang
unik. Nama kereta ini sama persis dengan nama universitas di Malang, yang juga
almamaterku. Aku menumpang kereta Brawijaya pada arus balik lebaran, tepatnya
pada Rabu, 9 April 2025. Kereta Brawijaya berangkat pada pukul 16.00 wib. Untuk
memperoleh kereta pada momen balik ini, aku telah mengunci tiketnya pada 27
Februari. Kalau tidak, mungkin aku sudah keduluan lainnya dan tidak kebagian tiket
untuk jalan ke Jakarta.
![]() |
Rute Kereta Api Brawijaya. Pic source: dok. pribadi |
Lalu, bagaimana bisa salah
pilih kursi? Tunggu, kuceritakan pelan-pelan ya. Jujur, sejak merantau ke
Sumatera Barat, aku amat jarang menggunakan kereta api untuk mudik ke Malang. Sebelum
pengalamanku pada tahun ini, terakhir kali aku menggunakan kereta untuk mudik
adalah pada lebaran 2019. Di luar itu, aku selalu menggunakan jalur langit
alias pesawat untuk pulang ke Malang, maupun kembali ke Bukittinggi.
Setelah terakhir mudik
berkereta pada 2019, lebaran tahun ini aku ingin kembali mencoba kereta api. Kupilihlah
kereta Brawijaya tersebut, untuk transportasi balik ke Jakarta. Seperti yang
sudah kusebut di atas, aku telah mendapatkan tiket pada 27 Februari. Untuk kenyamanan,
kupilih sebuah kursi jomblo pada perjalanan kali ini.
Kursi jomblo? Ya, kursi
jomblo. Maksudnya, kursi ini sendirian dan tidak ada orang lain yang bisa duduk
di sebelah kursiku. Pada gerbong kelas eksekutif, terdapat dua kursi jomblo
yang ada di masing-masing ujung gerbong. Dengan reflek, kupilih kursi bernomor
13B. Bayanganku, kursi jomblo bernomor 13B ini berada di bagian belakang
gerbong, tatkala kereta sedang berjalan.
Rupanya aku salah! Kursi 13B
ternyata berada di depan gerbong. Posisi kursiku ini tepat menghadap pintu
gerbong. Bisa kau bayangkan, pintu gerbong ini akan selalu membuka dan menutup
setiap kali orang lewat. Fiuuhh, setiap orang yang berlalu-lalang melalui pintu
gerbong, akan “mampir” ke dekat kursiku dan bisa dengan leluasa menatapku,
hahahaa.
Ahh, sial. Aku agak menyesal
dengan pilihan kursi 13B ini. Bagaimana tidak? Secara berkala, pintu gerbong
akan membuka lantaran menjadi akses lalu-lalang para pramugari restorasi yang
menawarkan berbagai makanan dan minuman kepada para penumpang. Selain itu, para
penumpang yang hendak ke toilet sudah pasti akan melalui pintu geser yang
memang persis di depan mukaku itu. Hikkss.
Aku paling sebal kala ada
penumpang yang tidak sadar diri untuk kembali menutup pintu gerbong tersebut. Padahal,
di kaca pintu sudah ada stiker bertuliskan “pintu harap ditutup kembali”. Akhirnya,
jika ada penumpang lain yang lalai tidak menutup pintu, segera kudorong pintu
itu dengan cukup keras. Tujuannya supaya pintu menutup dan terkunci dengan
rapat. Kau tahu, guncangan di atas gerbong selama kereta berjalan cukup keras. Kalau
pintu gerbong tidak ditutup rapat, maka ia bisa membuka dan berayun-ayun dengan
sendirinya.
![]() |
Menulis artikel di atas KA Brawijaya. Pic source: dok. pribadi |
Meski begitu, kunikmati saja
pengalaman menempati kursi jomblo 13B pada kereta Brawijaya tersebut. Aku masih
bisa menikmati jendela kereta dengan segala pemandangan yang tersaji. Juga, aku
masih sanggup menulis sebuah artikel yang akhirnya kuunggah ke laman Kompasiana-ku.
Kamu bisa membacanya di sini.
Dari pengalaman kursi 13B
ini, aku memetik pelajaran. Pelajaran untuk lebih teliti kala memilih kursi
kereta yang hendak digunakan. Namun overall, aku sangat menikmati setiap
momenku bersama kereta api. Semoga KAI tidak pernah lelah untuk berimprovisasi
dalam meningkatkan pelayanan kepada segenap pengguna jasa kereta api. Terima kasih
kereta Brawijaya, telah membawaku hingga sampai di Stasiun Gambir pada 10 April
dini hari, dengan selamat dan tepat waktu. Alhamdulillah.
No comments:
Post a Comment