Sunday 29 July 2018

Penangkapan Zainudin Hasan dan Kejamnya Framing Media


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak pernah absen dari sorotan utama. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukannya sering menjadi perbincangan hangat. Sejumlah terduga penerima rasuah selalu menjadi perhatian, tatkala mengenakan rompi berwarna oranye. Rompi KPK yang ‘keramat’ itu.
Tak sedikit figur-figur populer yang akhirnya harus menahan malu. Lantaran harus memakai rompi oranye ketika keluar dari gedung KPK di Jakarta. Bagiku, ada beberapa tokoh menonjol, yang berkesempatan ‘mencicipi’ rompi tersebut.
Sebut saja politisi Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Lalu Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar. Disusul Gubernur Sumatra Utara, Gatot Pujo Nugroho. Dan Gubernur ganteng dari Jambi, Zumi Zola.




Nama-nama yang kusebutkan di atas, sengaja aku jadikan contoh. Karena secara personal, mereka mempunyai tingkat kepopuleran yang lumayan. Mereka cukup dikenal oleh masyarakat. Juga, mayoritas dari mereka merupakan pejabat publik yang menjalankan peran sentral di pos masing-masing.
Namun sayangnya, mereka semua harus berurusan dengan komisi antirasuah. Terkurung di balik jeruji besi akhirnya menjadi ganjaran yang harus mereka terima. Karena kasus suap atau korupsi yang menjeratnya telah terbukti di pengadilan. Fiuuhh.
Sebenarnya kepala daerah yang terciduk di OTT KPK sudah banyak sekali. Bahkan seolah silih berganti. Jika hari ini bupati A, maka besok adalah walikota B. Apabila siang ini gubernur C, maka malam harinya ada si D. Begitu seterusnya. Hingga kita sebagai rakyat, barangkali sudah muak dan tak lagi peduli dengan para kepala daerah tersebut.
Zainudin Hasan. Pic source: pelitaekspres.com

Yang terbaru, muncul seorang bupati dari ujung selatan Pulau Sumatra. Dia bernama Zainudin Hasan. Lelaki ini merupakan pemimpin di Kabupaten Lampung Selatan. Zainudin menjadi kepala daerah termutakhir, yang harus merasakan rompi oranye dari KPK.
Tertangkapnya Zainudin Hasan mungkin akan terdengar biasa saja, andaikan ia bukanlah adik dari Zulkifli Hasan. Ya, ternyata Zainudin adalah saudara dari ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN).
Ya, Zulkifli Hasan! Ketum PAN yang belakangan sering wara-wiri di media. Apalagi kalau bukan urusan pemilu 2019…?! PAN beserta parpol oposisi lainnya, masih sibuk dengan polemik capres-cawapres yang bakal mereka usung. Belum ada titik temu yang menjadi kesepakatan di kelompok yang hendak melawan Pak Jokowi itu.
Mengingat Zainudin Hasan adalah adik dari Zulkifli Hasan yang notabene juga menjabat sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), otomatis membuat perhatian yang tertuju ke Zainudin menjadi semakin memuncak.
Berbagai pihak tentu bereaksi atas penangkapan bupati Lampung Selatan tersebut. Tetapi yang paling merasa ’bahagia’, barangkali adalah kelompok propemerintah. Kubu cebongers merasa mempunyai ‘mainan’ baru yang bisa digoreng sampai panas…!



Sama seperti abangnya, Zainudin tentu saja berasal dari PAN. Parpol ini pun tak luput dari cibiran publik. Khususnya nyinyiran dari kubu pro-Jokowi. Bagaimana tidak? Di awal pemerintahan Jokowi-JK, PAN berkomitmen untuk menjadi pendukung. Namun belakangan hari, PAN menarik diri dari kubu pendukung Jokowi. Jadilah PAN partai oposisi.
Tidak hanya soal PAN. Personal seorang Zainudin pun juga menjadi bahan bully-an. Pria ini diketahui turut menjadi simpatisan aksi 212. Sebuah gerakan masif yang bertujuan menekan penguasa agar segera mengadili Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Yaahh…, begitulah kejamnya dunia politik. Sekali terpeleset dan berbuat salah, maka bersiaplah untuk mendapatkan cibiran dari masyarakat. Terutama dari warganet di media sosial. Bisa jadi, segala jerih payah kebaikan yang dilakukan, akan tertutupi oleh satu keburukan saja. Itulah kejamnya dunia.

Penangkapan Zainudin Hasan dan Kejamnya Framing Media
Zainudin Hasan telah ditahan oleh KPK. Rompi oranye telah menempel di tubuh suburnya. Nyinyiran para pembencinya pun sudah berseliweran di linimasa medsos. Bagi kelompok ahokers, Zainudin ‘kualat’ sama Ahok.
Ya bagaimana tidak kualat…? Di penghujung 2016 terang-terangan mengikuti aksi 212 untuk ikut menghujat Ahok. Gerakan yang katanya merupakan aksi ‘bela agama’. Namun kenyataannya, bupati Lampung Selatan itu masih tersangkut kasus suap fee proyek. Baca sumber.
Aku tertarik dengan sebuah cuitan dari @kompascom. Akun Twitter milik jaringan media Kompas ini, menulis sebuah kalimat yang tersemat bersama tautan berita soal tertangkapnya Zainudin Hasan barusan. Aku lampirkan screenshot-nya:
Screenshot dari twitter.com/kompascom

Gimana…? Kamu sudah membacanya? Tatkala membaca cuitan ini, aku merasa tergelitik. Barangkali pihak Kompas sengaja membubuhkan perihal sholat 5 waktu yang menjadi salah satu program unggulannya Zainudin, sebagai bagian paling menarik dari berita yang telah disusunnya.
Mungkin maksud Zainudin Hasan adalah mengimbau para bawahannya agar mengamalkan sholat 5 waktu secara berjamaah, dan di awal waktu. Tentu saja amalan ini adalah sangat utama. Karena dengan begitu, maka masjid akan menjadi ramai dan menjadi makmur karena banyak jamaah yang berdatangan.
Tetapi kebijakan ini rupanya tidak dibarengi dengan ‘kebijakan’ lainnya. Dalam artian, Zainudin masih saja tergiur oleh suap. Kalau boleh jujur, ya sudah pasti ini menjadi suatu hal yang kontradiktif. Di satu sisi menganjurkan untuk beribadah dengan benar dan tepat waktu. Ehh, di sisi lain, masih mau menerima duit haram. Huufftt…
Hhmm. Namun tetap saja, artikel ini hanyalah opiniku saja. Toh, mungkin aku pribadi juga tak lebih baik dari Zainudin Hasan. Baiklah. Mungkin beliau sedang khilaf. Tapi walaupun khilaf, juga harus tetap dihukum, kan…?!