Tuesday, 31 December 2019

Dharmasraya dan Segala Memori yang Mencuat


Hari ini adalah hari terakhir dalam penanggalan 2019 Masehi. Rasanya ada yang kurang, jika aku tidak menuliskan sesuatu di blogku ini. Fiuuhh…, secara kuantitas, jumlah artikelku di tahun ini sangatlah menurun drastis.
Apabila kamu kebetulan sedang membaca tulisanku ini, cobalah untuk mengecek jumlah artikel yang ada di blog joejoehiphiphura ini. Tahun 2018 kemarin, adalah masa emas dari blog ini. Aku bisa memproduksi puluhan tulisan. Paling banyak dibandingkan dengan tahun-tahun lainnya.
Di 2018 kemarin juga, akhirnya aku berhasil menembus ketatnya pengajuan iklan Google Adsense. Alhamdulillah…, saat ini blogku tidak kalah dengan blog-blog di luaran sana. Ada iklan-iklan yang siap menemanimu kala membaca-baca artikel di blogku ini :)

Namun lihatlah di tahun ini. Aku hanya sanggup memproduksi tak sampai sepuluh artikel. Weeew…, jujur. Setahun terakhir waktuku mayoritas tersita karena urusan pekerjaan.
Yaps, menjadi seorang pegawai dengan kontrak kerja, tentunya membuatku mempunyai segala tanggung jawab yang melekat di pekerjaan itu. Hingga membuatku menanggalkan sejenak, keasyikanku untuk menulis di blog. Blog yang juga kugunakan untuk mengais pundi-pundi rupiah melalui adsense, hehee.
Oleh sebab itulah. Untuk mengurangi rasa bersalah lantaran ‘menyia-nyiakan’ blogku ini, akhirnya kupaksakan untuk menuliskan sesuatu hari ini. Aku berharap sih, aku bisa lebih bijak dalam urusan membagi waktu di tahun 2020 nanti. Agar aku bisa tetap menorehkan ‘sesuatu’ di blog ini. Amiiinn.
***
Oke, cukup untuk basa-basinya. Kali ini aku akan bercerita, sesuai dengan judul yang sudah dipasang diatas. Dan pengalamanku kali ini, ada hubungannya dengan kabupaten Dharmasraya. Sebuah kabupaten yang terletak di tengah-tengah pulau Sumatera. Tepatnya di provinsi Sumatera Barat.
To be honest, ceritaku soal Dharmasraya ini sudah berlangsung lebih dari tiga bulan yang lalu. Tepatnya pada sekitar September 2019. Kala itu, aku ditugaskan untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kantor, ke SMPN 1 Sitiung, Dharmasraya.



Tugas ini harus kulalui dengan perjalanan darat. Huufft…, bisa kamu bayangkan. Betapa tepos dan gempornya pantatku. Bukittinggi ke Dharmasraya membutuhkan waktu sekitar tujuh jam!
Capek, sudah pasti. Dinas luar mana sih, yang nggak bikin lelah…? Kalau ada orang yang bilang, dinas luar itu cuma jalan-jalan nggak ada guna, itu salah besar. Rasanya ingin kugampar mulut orang-orang yang suka nyinyir dengan dinas luar yang kujalani. Kugampar pakai sandal bakiak, hahahaaa.
Tetapi hikmahnya, dari perjalanan ke Dharmasraya ini aku mendapatkan pengalaman baru. Bagaimana rasanya, berpapasan dengan truk-truk besar di sepanjang jalan. Truk-truk kontainer yang menjadi raja di jalan raya lintas Sumatera. I really excited…!
Kegiatanku di Dharmasraya adala melakukan kegiatan pemutaran film dan sosialisasi di SMPN 1 Sitiung. Sitiung sendiri adalah nama salah satu kecamatan di Dharmasraya. Namun mendengar nama Sitiung, tiba-tiba mengingatkanku dengan memori di masa lalu.
Dok.pribadi

Sayup-sayup, aku mencoba mengingat-ingat, darimana ingatan soal Sitiung tersebut. Akhirnya aku ingat. Dulu, saat aku masih berada di bangku SMA, aku pernah membaca sebuah buku dari perpustakaan sekolahku. Buku itu membahas soal transmigrasi yang terjadi karena pembangunan waduk Gajah Mungkur di Jawa Tengah.
Transmigrasi itu dilakukan menuju sebuah daerah yang disebut sebagai Sitiung. Kala itu, setelah kubaca-baca bukunya, aku mendapati informasi bahwa Sitiung adalah nama daerah di Sumatera Barat. Sitiung dipilih sebagai tujuan para transmigran, karena lahannya yang masih luas.
Dan tahun ini, tiba-tiba aku mempunyai kesempatan untuk singgah di sini. Di Sitiung. Sebuah daerah yang belasan tahun yang lalu hanya kubaca dari sebuah buku. Daerah yang kutahu cuma sebagai daerah tujuan para transmigran waduk Gajah Mungkur.
Subhanallah…
Aku pun membuktikan sendiri. Bahwa Sitiung memang benar-benar banyak dihuni oleh komunitas suku Jawa. Dari mana datangnya orang Jawa yang begitu banyak di Sitiung…? Ya tentu saja berasal dari para transmigran kabupaten Wonogiri, yang harus merelakan daerahnya tenggelam oleh pembangunan waduk Gajah Mungkur.
Alhamdulillah…, perjalananku ke Dharmasraya kali ini memberikan sebuah euforia tersendiri. Di saat aku kadang ingin pulang ke tanah Jawa, namun tidak bisa kulakukan karena berbagai alasan. Tetapi dinas ke Sitiung tersebut, telah sedikit mengobati rasa kangenku dengan segala hal yang ‘berbau’ Jawa.
Dok.pribadi

Orang-orang yang kutemui di Sitiung, adalah orang-orang yang mempunyai kaitan sejarah yang tak terpisahkan dengan tanah Jawa. Leluhur mereka adalah wong Jowo. Sebagian dari mereka masih sanggup berkomunikasi dengan bahasa Jawa.
Tetapi mereka semua telah ber-KTP Dharmasraya. Adalah warga Sumatera Barat. Di momen Idul Fitri, mereka tak lagi melakukan ritual mudik ke pulau Jawa. Mereka cukup berlebaran di Sitiung. Karena orangtua, kerabat, dan saudara mereka semuanya telah berada di tanah Sumatera ini. Tak ada yang tersisa, di Wonogiri.
Hhmm…, artikel ini kututup dengan harapan. Semoga di tahun 2020, aku bisa lebih bijak. Bijak dalam memanfaatkan waktu. Karena waktu yang diberikan Tuhan buatku, tentu saja semakin berkurang.
Aku pun masih memelihara rasa penasaran. Akan kemana lagi, Allah memberiku berkah untuk melakukan perjalanan di 2020 ini. Semoga aku bisa menjalaninya dengan lebih amanah. Dan enjoy serta lebih happy…!



No comments:

Post a Comment