Friday 7 September 2018

Kata Mardani, Aksi #2019GantiPresiden Akan Surut Kalau Harga Telur 11.000/kg. Menurutmu…?


Hari-hari belakangan, topik yang santer dibicarakan adalah perihal dolar. Memang sih, nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika (USD) sedang melemah. Yang kudengar, bahkan sempat menyentuh level 15.000 rupiah per satu dolar. Hhmm.
Jujur, sebagai rakyat yang super duper awam soal masalah perekonomian makro, aku tak begitu ambil pusing dengan nilai tukar rupiah tersebut. Aku sih berusaha simpel. Tatkala masih bisa bekerja dan menghasilkan uang, maka aku akan tenang. Dengan begitu, aku masih bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ya, sesimpel itulah hidup. Pokoknya masih bisa membeli bensin untuk motor. Masih bisa membeli nasi lalapan atau pecel setiap hari. Dan tentunya, masih sanggup membeli pulsa untuk keperluan internet. Bagiku, ketika kebutuhan-kebutuhan tersebut masih dapat terpenuhi dengan ‘benar’, maka aku akan baik-baik saja. Semoga.




Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, sontak menjadi isu baru yang mengemuka pasca euforia Asian Games 2018. Ya, tatkala Asian Games berjalan sukses, otomatis nama Pak Jokowi turut terkerek. Kurasa kesuksesan penyelenggaraan Asian Games, bakal menjadi salah satu modal yang diangkat tim Jokowi dalam kampanye pilpres nanti.
Tetapi gaung keberhasilan dalam me-manage Asian Games, sedikit tergerus lantaran nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terus merosot. Dan seperti biasa, fakta miring yang muncul dari pemerintah selalu dijadikan bahan nyinyiran bagi segenap tim oposisi.
Aku tergelitik, kala salah satu teman di jagat maya menuliskan sebuah status di akun medsosnya. Dia menyebut, saat ini banyak orang berubah menjadi pengamat ekonomi. Namun hanya sebagai ‘pengamat ekonomi’ di media sosial.
Hihii, kurasa aku sepakat dengan isi statusnya itu. Aku juga tak memungkiri. Sepekan terakhir, banyak orang mencuitkan berbagai ungkapan miring, yang dipicu melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Sebagian besar dari mereka kompak berujar, bahwa pemerintah telah ‘gagal’ hingga akhirnya rupiah terus tertekan dan melemah. Dan bisa ditebak, ungkapan selanjutnya adalah cibiran kepada presiden Jokowi, yang dilengkapi teriakan semangat untuk tak lagi memilih Jokowi di pilpres 2019.
Huahahaa. Aku mau ketawa ngakak, tapi takut dosaku bertambah. Ya bagaimana aku tidak ketawa…?! Sebagian besar dari para warganet tersebut, sejujurnya tidak begitu paham dengan segala tetek bengek perekonomian makro.
Pokoknya bagi mereka, ketika rupiah terus merosot, itu berarti pemerintah yang salah. Pemerintah tidak becus mengurus perekonomian. Daaaann…, Jokowi sudah gagal menjadi presiden! Jadi, 2019 harus ganti presiden…! Begitu kira-kira ungkapan para pembenci Jokowi.
Oleh sebab inilah. Aku tak mau sok-sokan latah. Untuk turut menuliskan segala reaksi terkait melemahnya nilai tukar rupiah, di akun medsosku. Karena aku sendiri tak begitu paham dengan urusan ekonomi makro.




Kata Mardani, Aksi #2019GantiPresiden Akan Surut Kalau Harga Telur 11.000/kg
Daripada ngomongin soal rupiah dan dolar, aku lebih tertarik membahas soal Mardani Ali Sera. Figur yang satu ini, belakangan menjadi seorang politisi yang banyak disebut-sebut.
Mardani merupakan salah satu kader utama dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Iyuuhh…, mendengar kata PKS saja aku sudah mual. Dan tatkala mendengar PKS, yang muncul di benakku adalah daging-daging sapi impor. Huahahaaaa…
Astaghfirullah, buat ‘warga’ PKS yang kebetulan membaca artikel ini, aku mohon maaf. Tak ada niatan untuk melecehkan. Aku hanya membicarakan fakta. Lantaran kasus suap impor daging sapi yang dilakukan mantan presiden PKS, Lutfi Hasan Ishaaq.
Tahun 2018 ini, Mardani muncul sebagai breakthrough. PKS adalah parpol yang memilih menjadi oposisi dari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Oleh karenanya, tak heran jika partai ini sering ‘tak bersahabat’ dengan segala kebijakan pemerintah. Maunya mengkritik terus, maunya nyinyir terus.
Menjelang pilpres 2019, Mardani muncul dengan sebuah gerakan yang diberi nama #2019GantiPresiden. Hampir semua sudah mafhum. Kalau tujuan dari adanya aksi ini adalah imbauan untuk tak lagi memilih Jokowi di pemilu tahun depan.
Pro kontra pun bermunculan, atas eksistensi aksi itu. Sebagian kalangan menganggap, bahwa gerakan Mardani merupakan suatu bentuk kampanye pilpres yang belum waktunya. Namun bagi kaum kampret pemuja oposisi, gerakan ini adalah sah dan tidak melanggar undang-undang. Karena #2019GantiPresiden ‘cuma’ sekadar gerakan sosial yang hendak menyampaikan pendapat.
Latar belakang mengapa gerakan #2019GantiPresiden muncul, sudah pasti karena ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi. Bagiku, hal ini wajar-wajar saja. Namun yang perlu dicamkan adalah, pemerintah memang tidak bisa membuat semua orang puas. Di setiap aspek, pasti bakal ada saja…, yang tidak puas dengan kebijakan dari pemerintah.
Screenshot dari detik.com

Aku tertarik dengan pernyataan Mardani, soal alasan mengapa dirinya menginisiasi gerakan ganti presiden. Sudah aku screenshot di atas. Baginya, tatkala harga telur ayam bisa mencapai 11.000 rupiah per kilogram, maka gerakan ganti presiden akan hilang dengan sendirinya.
Naaahh…, menurutmu bagaimana? Alasan yang dikemukakan oleh Mardani tersebut, mengindikasikan bahwa rezim Jokowi tidak bisa mengendalikan harga bahan pangan. Baginya, harga bahan pangan yang cukup tinggi merupakan bentuk ketidakbecusan pemerintah dalam menyediakan penghidupan bagi rakyat.
Oke, alasan ini memang debatable. Tidak sepenuhnya salah, dan tidak sepenuhnya benar juga. Tetapi kali ini, aku ingin angkat bicara soal harga telur yang coba dicontohkan oleh Mardani tersebut.
Mardani Ali Sera tampil di Mata Najwa, pada Rabu, 5 September. Pic source: dok.pribadi

Kebetulan, Mardani juga menyebutkan soal harga telur ini, di kesempatan dirinya tampil di Mata Najwa, pada Rabu, 5 September kemarin. Tetapi alasan soal idealnya harga telur tersebut, lantas dibantah oleh Setyo Wasisto. Setyo yang menjabat kepala divisi humas Polri, juga turut hadir di Mata Najwa.
Menurut Pak Setyo, apabila harga telur minta berada di kisaran 11 ribu per kg, maka bakal muncul masalah baru. Harga 11 ribu per kg ini tentu saja bakal memberatkan para peternak telur ayam di seluruh Indonesia.
Ya bagaimana tidak memberatkan…?! Tentu ada banyak ongkos yang dihitung, untuk menentukan seberapa harga pokok produksi (HPP) dari suatu komoditas. Harga pakan ayam saja sudah berapa. Belum untuk keperluan lain seperti pemeliharaan kandang dan kesehatan ayam. Belum lagi untuk ongkos distribusi dari produsen ke konsumen. 

Peternak pun juga memiliki hak untuk menentukan seberapa laba yang diharapkannya, dari usaha memproduksi telur ayam. Harusnya, hal-hal seperti ini juga patut dipelajari oleh Mardani. Agar tidak asal njeplak soal harga-harga bahan pangan.
Yaahh…, tujuannya Mardani untuk memunculkan soal harga telur ini ada benarnya juga. Tentu sebagai rakyat jelata, kita semua menginginkan harga bahan pangan yang terjangkau dan lebih murah.