Wednesday 26 September 2018

Edy Rahmayadi dan ‘Efek Domino’ yang Bisa Saja Timbul


Saat ini, sosok Edy Rahmayadi sedang tersorot banyak mata. Purnawirawan Angkatan Darat ini sedang mengemuka, lantaran statusnya sebagai pucuk pimpinan dari Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Sebagai ketua umum PSSI, dirinya dimintai pertanggungjawaban atas sebuah tragedi yang terjadi pada hari Minggu, 23 September barusan.
Edy Rahmayadi saat tampil di tayangan Kompas Petang, Kompas TV, pada 24 September 2018. Screenshot dari twitter.com/KompasTV

Kukira aku tak perlu bercerita panjang lebar soal tragedi yang terjadi pada 23 September tersebut. Hampir semua dari kita sudah tahu. Bahwa tragedi itu berkaitan dengan rivalitas pendukung dari klub sepakbola di tanah air.
Hikks…, seorang lelaki telah kehilangan nyawanya di hari naas itu. Ya, dari hati yang terdalam, aku turut berbela sungkawa atas tewasnya Haringga Sirla. Dia meregang nyawa, di sekitar stadion GBLA Bandung. Di hari itu, memang ada pertandingan sepakbola antara Persib dengan Persija. Haringga adalah salah satu pendukung dari Persija.

Cih! Sumpah serapah rasanya sudah tak ada gunanya lagi, sebagai reaksi atas peristiwa memilukan ini. Yang jelas, aparat kepolisian sepertinya sudah menangkap sejumlah tersangka, yang diduga telah melakukan tindakan kekerasan kepada Haringga. Hingga pria ini menemui ajalnya.
Entah apa ungkapan yang pas, untuk menggambarkan fenomena tewasnya Haringga ini. Dua hari yang lalu, aku menemukan sebuah unggahan video, yang di-share oleh salah satu teman di media sosial.



Lantaran keingintahuan yang sungguh besar, aku putar video itu. Dan setelah aku melihatnya, aku lunglai tak bertenaga. Video itu memperlihatkan, bagaimana ricuhnya gerombolan, yang dengan innocent melakukan serangan secara membabi buta. Hingga membuat seorang lelaki terkapar, tak berdaya.
Ckckckk…, apakah rasa kemanusiaan telah sirna? Apa ya, yang ada di benak orang-orang yang berlaku barbar seperti itu? Pantaskah berlaku bak binatang seperti demikian…? Ahh, aku jadi linglung sendiri.
Cukup satu kali, aku memutar video yang barangkali menjadi saksi. Bagaimana seorang Haringga menerima perlakuan sadis, hingga nyawanya harus melayang saat itu juga. Aku tak tahu, apakah video yang kutemukan di linimasa medsos tersebut masih ada, atau sudah dihapus. Namun sungguh, kuharap video itu telah raib. Agar linimasa tak dijejali oleh postingan yang berkonten kekerasan. Cukup sudah.
Memang tak bisa dipungkiri. Sepakbola adalah olahraga paling merakyat seantero bumi. Bahkan, ada yang sampai ‘menuhankan’ sepakbola, dan menjadikannya sebagai prioritas yang tinggi dalam hidupnya.
Aksi kekerasan yang menimpa Haringga adalah buktinya!
Persoalannya cuma sepele. Ya, sepele! Hanya lantaran mempunyai sense of belongings yang kuat atas sebuah klub, hingga membuat orang-orang kehilangan kewarasannya. Bagaimana tidak waras…?! Wong pendukung dari klub yang berlainan dianggap musuh?! Lak repot!
Oleh sebab itu, sudah sepantasnya pihak PSSI harus dimintai pertanggungjawaban atas fenomena ini. Karena bagaimana pun juga, PSSI adalah organisasi tertinggi, yang mewadahi segala hal terkait olahraga sepakbola di tanah air.
Kabar terakhir yang kudengar, PSSI telah menghentikan kompetisi Liga 1 (sumber). Keputusan ini barangkali adalah yang terbaik. Sebagai imbas dari tewasnya seorang suporter, yang padahal niatnya hanya ingin menonton tim kesayangannya yang bertanding di kota lain. Tapi harus meregang nyawa sia-sia.
Entah apa lagi, keputusan yang bakal diambil oleh para stakeholder dari ranah sepakbola tersebut. Tidak sekadar membekukan kompetisi lokal. Bagiku, evaluasi besar-besaran harus dilakukan. Khususnya yang berkaitan dengan urusan suporter klub sepakbola.
Ngomongin PSSI, tentu tidak afdol kalau tidak menjawil sosok Edy Rahmayadi. Sebagai ketum PSSI, dialah yang responnya paling ditunggu, atas tragedi yang menimpa Haringga Sirla barusan.
Alangkah wajar jika akhirnya, sang ketum PSSI menjadi buruan para awak media. Pernyataan seorang Edy Rahmayadi, dianggap paling representatif yang menunjukkan sikap dari PSSI sebagai otoritas tertinggi olahraga sepakbola.
Sayangnya, ada satu peristiwa yang membuat Edy Rahmayadi harus ‘tercoreng’. Pada kesempatan perbincangan yang dilakukan oleh Kompas TV secara teleconference, ada sikap Edy Rahmayadi yang dianggap kurang elok. Kamu bisa menyaksikan cuplikannya di sini.



Jadi, pada Senin sore, 24 September kemarin, Kompas TV menjadikan Edy Rahmayadi sebagai narasumber, terkait peristiwa yang terjadi di GBLA sehari sebelumnya. Pada cuplikan yang telah aku sematkan di atas, jurnalis senior Aiman Witjaksono melakukan tugasnya untuk menggali pernyataan dari ketum PSSI.
Namun barangkali, mood Pak Edy sedang swing-swing nggak karuan. Nggak heran, sih. Purnawirawan tentara yang satu ini tidak hanya berstatus sebagai ketua PSSI. Dia juga mengemban amanah sebagai gubernur Sumatra Utara.
Di akhir-akhir sesi wawancara, Aiman bertanya kepada Edy. Apakah ia terganggu dengan double job sebagai gubernur Sumut, sekaligus sebagai ketua PSSI? Yah, pertanyaan ini memang terdengar simpel. Sebagai orang yang ditanya, Pak Edy tinggal menjawabnya. Ya atau tidak.
Namun tak disangka, pertanyaan ini barangkali diinterpretasikan berbeda oleh Edy. Yang ada, Edy tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Aiman tersebut. Ia malah memberi pertanyaan balik, bahwa Aiman tidak punya urusan untuk menanyakan perihal tugas ganda yang sedang dijalaninya.
Mungkin Edy Rahmayadi menyangka, rangkap jabatan yang dijalaninya akan digiring Kompas TV, sebagai sebuah kekurangan yang menjadikan performa Edy tidak maksimal. Entah sebagai gubernur Sumut, maupun sebagai ketum PSSI. Anggapan inilah yang mungkin membuat Edy tidak berkeinginan untuk menjawab pertanyaan dari Aiman.
Perbincangan berakhir, tak lama setelah ‘ketegangan’ soal pertanyaan tugas ganda yang dijalani oleh Edy. Namun, wawancara yang tersiar secara live di televisi itu akhirnya menimbulkan ‘kericuhan’ tersendiri di jagat dunia maya.
Source: dok.pribadi

Sejak Senin malam hingga setidaknya Selasa siang kemarin, tagar #SiapPakEdy menjadi topik yang paling banyak disebut-sebut oleh warganet di jagat Twitter. Setelah kubaca-baca, para netizen menjadikan respon Edy sebagai bahan lelucon.
Inilah kalimat dari Edy Rahmayadi, yang akhirnya menjadi bahasan hangat di medsos: Apa urusan Anda bertanya seperti itu...? Bukan hak Anda untuk bertanya seperti itu…?!
Menurutku, apa yang diutarakan Aiman kepada Edy sebenarnya tidak masalah. Toh, sudah menjadi tugas Aiman untuk bertanya. Karena dia hanyalah seorang jurnalis. Yang jadi masalah adalah, bagaimana seharusnya Pak Edy bereaksi sebagai seorang pejabat publik.
Tak bisa dipungkiri, pengalaman sebagai seorang tentara tentu membentuk citra yang tegas, dan bahkan cenderung keras. Sikap ini biasanya akan terus terbawa, meski seorang tentara telah pensiun alias memasuki masa purna.
Oleh sebab inilah, seyogianya bagi para purnawirawan yang saat ini menjadi pejabat, baiknya tidak terlalu membawa-bawa ‘kebiasaan’ dari zaman ketika masih aktif sebagai prajurit. Atmosfer militer dan sipil amatlah berbeda.
Jangan disamaratakan. Jadilah pejabat yang lebih luwes. Lebih menunjukkan sikap fleksibel, namun tidak meninggalkan ketegasan sebagai seorang pemimpin dan pengambil keputusan.
Ada diantara reaksi netizen di medsos, yang memandang terlampau serius atas sikap Pak Edy di tayangan Kompas TV kemarin. Yang kulihat, sikap ‘arogan’ dari Edy telah memicu generalisasi terhadap semua purnawirawan tentara yang menjadi pejabat publik.
Warganet khawatir, jika eks tentara menjadi pejabat publik seperti kepala daerah misalnya, maka pembawaannya tidak akan jauh berbeda dari apa yang ditunjukkan oleh Edy Rahmayadi. Nah loh, parah kan…?!
Akhirnya muncul selentingan-selentingan miring, yang akan menolak purnawirawan tentara untuk menjadi kepala daerah. Bagiku, selentingan ini bisa dianggap angin lalu. Tapi bisa juga menjadi sesuatu yang serius.
Kupikir, sikap Edy Rahmayadi di Kompas TV telah berpotensi menimbulkan ‘efek domino’ yang mengancam eksistensi para purnawirawan tentara. Publik, khususnya kaum milenial yang melek medsos, mungkin akan merasa antipati dengan para eks tentara. Karena khawatir dengan stigma arogan yang kadung menempel di dalam diri seorang tentara.
Ngomongin soal eks tentara, mau tak mau bakal mengaitkannya dengan Prabowo Subianto. Aku merasa, apa yang terjadi dengan Edy Rahmayadi akan memberikan efek domino terhadap Prabowo.
Sentimen negatif terhadap eks tentara yang hendak menjadi pejabat, barangkali akan meningkat. Dan berpotensi mengurangi pundi-pundi simpati kepada Prabowo. Apalagi kendaraan Edy Rahmayadi untuk menjadi gubernur Sumut adalah Gerindra. Parpol yang identik dengan Prabowo.