Sunday 14 October 2018

Soal Harga Bensin, Pak Jokowi Itu ‘Maju Kena Mundur Kena’. Betul Nggak…?


Ngomongin Pak Jokowi, yang baru saja viral dan ramai dibicarakan adalah pidatonya pada pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia, di Bali. Pidato itu menyebut-nyebut Game of Thrones.
Kali ini aku tidak akan membahas perihal Game of Thrones. Apalagi soal analoginya yang digunakan untuk menggambarkan kondisi perekonomian dunia saat ini. Otakku belum nyampe, hahaa.
Namun yang jelas, pidato Pak Jokowi yang nyerempet-nyerempet serial Game of Thrones itu, tentu menimbulkan berbagai reaksi. Ada yang terpukau. Ada pula yang tidak begitu paham. Ada yang bangga dan suka. Ehh…, ada juga yang tidak suka.




Yang tidak suka, sudah pasti berasal dari kaum oposisi. Ibaratnya, apa pun yang keluar dari bibir Pak Jokowi, bakal ditanggapi secara kontra. Yah, tugasnya golongan oposan memang seperti itu. Kalau nggak kontra, bukan oposisi namanya. Hhmm.
Soal harga bahan bakar minyak (BBM) misalnya. Penentuan harga BBM yang dikonsumsi oleh masyarakat, tentu melibatkan campur tangan dari pemerintah. Dan harga BBM ini, sedikit banyak turut dipengaruhi oleh harga minyak mentah dunia.
Kalau harga minyak mentah dunia sedang rendah, maka harga BBM bisa ikutan jongkok. Tetapi kalau harga minyak mentah sedang membumbung, maka bersiap-siaplah. Kita akan menjerit berjamaah. Lantaran harga BBM bakal dinaikkan, mengikuti harga minyak mentah yang memang sedang tinggi. Haduuhh…
Ya, harga BBM itu naik turun. Mengikuti fluktuasi harga minyak mentah di pasar internasional. Kalau bahasanya pemerintah, harga BBM itu bukan naik atau turun. Melainkan terdapat ‘penyesuaian’ harga. Hahahaaa.
Kalau dipikir-pikir, istilah ‘penyesuaian’ yang digunakan oleh pemerintah ini tidak salah. Harga BBM untuk rakyat memang disesuaikan oleh pemerintah. Bisa naik, bisa pula turun. Tergantung kepentingannya untuk perekonomian nasional.
Belum lama ini, harga BBM mengalami penyesuaian. Sayangnya, penyesuaian ini bukannya menurun. Melainkan meningkat! Hikkss. Tapi tunggu dulu. Jenis BBM itu ada banyak. Yang naik BBM yang mana nieehh…?
Harga BBM memang mengalami peningkatan. Terhitung sejak Rabu, 10 Oktober 2018 barusan, BBM jenis pertamax series, pertamina dex series, dan biosolar nonsubsidi mengalami kenaikan (sumber).
Hhmm, kalau diamati, yang harganya naik itu BBM nonsubsidi. Jenis-jenis BBM yang harganya memang cukup mahal. BBM yang target segmennya adalah masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas.
Kabar ini cukup melegakan. Karena kupikir, harga BBM yang naik adalah BBM jenis subsidi. Seperti premium atau pertalite. Waaah…, kalau premium atau pertalite yang harganya dinaikkan, tentu aku akan menjerit. Aaaahhhhh!
Kenaikan harga BBM nonsubsidi yang terjadi beberapa hari lalu, sontak menjadi salah satu topik yang hangat dibicarakan. Terutama bagi para pemuja kaum oposisi. Seperti yang sudah diduga, golongan kampret akan menggoreng-goreng isu kenaikan harga BBM dengan amat getol.
Joko Widodo tampil di acara "30 Menit Bersama Presiden", yang ditayangkan Net TV, pada Minggu, 7 Oktober 2018.

Aku sih, udah nggak heran dengan perilaku para kampret. Soalnya mau apa pun kebijakan Jokowi, pasti akan dicibir hingga ke titik nadir. Apalagi kalau kebijakannya bernada negatif, seperti kenaikan harga BBM barusan misalnya.
Bisa dipastikan, kaum kampret sedang ‘berpesta pora’ untuk membangun pandangan miring terhadap kinerja pemerintah. Tuduhannya pasti nggak jauh-jauh seperti ini: pemerintah itu tidak prorakyat. Jokowi tidak prorakyat…!



Padahal barangkali, kebijakan untuk menaikkan harga BBM nonsubsidi, adalah jalan terbaik yang dapat ditempuh. Mungkin kalau kenaikan harga BBM tidak dilakukan, maka bakal menimbulkan efek yang lebih serius terhadap perekonomian nasional. Mungkin lho yaa…
But honestly, sebagai konsumen aku mulai khawatir. Harga pertamax yang naik, takutnya akan memengaruhi perilaku konsumen yang biasa menggunakan pertamax. Bisa saja, para konsumen pertamax ini akan beralih ke pertalite. Karena harga pertalite masih terasa friendly.
Kalau itu benar terjadi, waaah…, bersiaplah terjadi peningkatan konsumsi BBM jenis pertalite. Masyarakat yang biasanya membeli pertamax, mungkin akan beralih menjadi konsumen pertalite. Jadi, bersiaplah untuk menemui antrean yang lebih panjang pada pembelian pertalite di SPBU-SPBU. Hhmm.
Polemik tidak hanya terjadi pada kenaikan harga BBM nonsubsidi. Bahkan awalnya, pemerintah sempat hendak menaikkan harga jenis premium juga! Wuaduhh…, kalau ini benar-benar terjadi, bersiaplah kita menjerit bersama. Hikkss.
Tetapi alhamdulillah. Pemerintah tidak jadi melakukan penyesuaian harga terhadap jenis premium. Harga premium sampai detik ini, masih tetap. Begitu pula dengan harga pertalite. Untuk sementara, amanlah…
Aku berharap, pemerintah mempunyai formula yang ciamik. Untuk mempertahankan kondisi perekonomian, di tengah berbagai terpaan global. Janganlah yaa…, harga premium dan pertalite dinaikkan. Nanti biaya hidup semakin mahal, lhoo?!
Well, batalnya pemerintah untuk menaikkan harga premium, patut diapresiasi. Namun sayangnya, kabar ini malah diinterpretasikan berbeda oleh kaum pemuja oposisi. Menurut kaum kampret, batalnya kenaikan harga premium itu murni sebagai bentuk pencitraannya Jokowi.
Pencitraan gundulmu kuwi…!
Ya itulah mengapa, aku memberikan judul artikel ini seperti di atas. Karena apa pun kebijakannya Pak Jokowi soal harga bensin, itu bisa diwakili oleh ungkapan: maju kena, mundur juga kena. Kalau harga bensin jadi dinaikkan, maka Jokowi akan dicap sebagai pemimpin yang tidak prorakyat. Jokowi tidak peka terhadap penderitaan rakyat.
Tetapi ketika harga bensin tidak jadi dinaikkan, maka akan dicap sebagai pencitraan belaka. Fiuuhh…, betapa susahnya menghadapi para ‘gerombolan sakit hati’. Kontribusi nyata juga minim, tapi berisiknya luar biasa!
Yuk, ahh. Mending produktif saja cari duit. Daripada kuota internet dibuang sia-sia buat meladeni bualannya para kampret, mending buat nulis opini. Betul nggak…?