Tuesday 4 December 2018

Predikat Apa yang Paling Pantas Disematkan Kepada Pak Harto…?


Keluarga Cendana sepertinya ditakdirkan untuk menjadi bagian dari sejarah perjalanan negara Indonesia. Mendengar istilah “Keluarga Cendana”, kita semua pasti sudah paham. Siapa sajakah yang dimaksud dengan keluarga ini.
Indonesia pernah memiliki seorang presiden, yang memguasai negeri ini selama lebih dari tiga dekade. Dialah Jendral Besar Soeharto. Ya, jendral besar. Karena terdapat lima bintang yang menempel pada dirinya.
Presiden Soeharto, pemimpin terlama di Indonesia. Pic source: merdeka.com

Selama menjadi presiden, Pak Harto mendiami sebuah rumah di jalan Cendana, Jakarta. Bersama istri dan keenam anaknya, keluarga Soeharto menjelma keluarga yang legendaris. Rumah yang berada di jalan Cendana inilah, yang akhirnya dipakai orang-orang untuk menyebut keluarga sang penguasa Orde Baru itu.

Tak ada yang meragukan. Betapa keluarga Cendana mempunyai hegemoni yang kuat, selama periode 1970-an hingga 1990-an. Tetapi semuanya pudar, tatkala Siti Hartinah―ibu negara―wafat pada 28 April 1996.
Selepas menjadi duda, nampaknya Pak Harto kehilangan ‘kekuatan’-nya. Ditambah badai krisis ekonomi yang menghantam Asia Pasifik. Membuat Indonesia tiba-tiba menjadi goyah. Yang kuingat di masa 1997-1998, Indonesia dilanda krisis moneter. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, terjun bebas. Harga-harga barang merangkak naik.



Dan puncaknya, terjadi aksi demonstrasi besar-besaran pada Mei 1998. Pak Harto pun harus meninggalkan jabatannya, yang sudah digenggamnya sekitar 32 tahun. Dia pun lengser keprabon. Menyudahi kedigdayaannya sebagai orang nomer satu di negeri ini.
Selepas menjadi rakyat biasa, muncul berbagai tudingan yang dilayangkan kepada Pak Harto dan keluarga besarnya. Berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ya, praktik KKN juga menjadi salah satu alasan utama, yang membuat banyak tokoh ingin menggulirkan reformasi, dan mengakhiri masa kekuasaan Soeharto.
Yah…, patut diakui. Kejayaan keluarga Cendana barangkali telah lewat. Namun bukan berarti keluarga ini tidak eksis. Trah Cendana tidak pernah benar-benar terlupakan dari benak masyarakat Indonesia. Sadarkah kamu, jika hal sekecil apa pun yang terjadi pada anggota keluarga Cendana, maka media tidak segan-segan untuk mengabarkannya.
Di awal tahun, aku cukup terkesima dengan sepak terjang dari salah satu keluarga Cendana. Dia adalah Hutomo Mandala Putra. Pria yang biasa disebut Tommy ini, merupakan putra kelima dari Pak Harto.
Apa sih sepak terjang si Tommy…? Tommy Soeharto ternyata masih berkeinginan untuk cawe-cawe di ranah politik. Hukuman bui yang pernah dijalaninya, sama sekali tak menurunkan minatnya untuk berpolitik praktis.
Tatkala Partai Golkar tidak lagi bersahabat dengannya, Tommy memilih hengkang. Ia membuat partai politik baru. Sebagai kendaraannya untuk mengarungi konstelasi politik di tanah air. Parpol itu dinamainya Partai Berkarya.

Dari berbagai sumber yang kubaca, motivasi Tommy menciptakan Partai Berkarya, tidak sekadar ingin meramaikan pemilu 2019. Tetapi Tommy ingin kembali menggaungkan, betapa suksesnya kepemimpinan ayahandanya, Soeharto.
Hmm, bagiku Tommy masih tenggelam dalam romantisme, kala ayahnya masih berkuasa. Kala keluarga Cendana masih menjadi nomer wahid di bumi Indonesia. Padahal zaman terus berganti. Dan kupikir, sudah bukan waktunya lagi untuk mendewakan Orde Baru.
Kita lihat saja. Bagaimana suara yang diperoleh Berkarya, dalam pemilu legislatif nanti. Dari hasil pemilu ini kita bisa mengukur. Seberapa banyak pemuja Orde Baru, yang rela memberikan suaranya untuk partai besutan Tommy Soeharto itu.




Pidato Prabowo Soal Korupsi Berlevel Stadium 4
Bukan Prabowo Subianto namanya, kalau tidak menghadirkan pernyataan-pernyataan yang amazing. Patut dimaklumi, Pak Prabowo sedang menjalankan tugasnya untuk berkampanye.
Namun sayangnya, banyak pernyataan Prabowo yang mengungkapkan hal bernada negatif. Alih-alih menerbitkan optimisme. Yang ada, malah ungkapan menakutkan dan konyol.
Yang mutakhir, pada sebuah forum Prabowo menyatakan bahwa perilaku korupsi di negara Indonesia sudah demikian buruknya. Pria ini bahkan tidak segan untuk menggunakan istilah ‘stadium 4’, sebagai ungkapan untuk mendeskripsikan betapa parahnya rasuah di Indonesia.
Apa yang disampaikan oleh Prabowo ini memang terdengar kontroversial. Dan bisa ditebak, ungkapan korupsi stadium 4 sontak menjadi isu yang cukup santer. Ada yang menduga, statement Prabowo itu bertujuan untuk menyindir pemerintahan Joko Widodo.
Sebagai parpol petahana, tentu wajar bila PDI Perjuangan melontarkan reaksi atas pernyataan Prabowo tersebut. Setidaknya hal ini diwakili oleh Ahmad Basarah, wakil sekjen PDIP.
Screenshot dari tempo.co

Namun sayangnya, respons yang dilontarkan Ahmad Basarah malah terkesan blunder. Bagaimana tidak blunder…? Menurut Basarah, Prabowo itu seperti peribahasa menepuk air didulang, terpercik ke muka sendiri.
Menurut Basarah, harusnya Prabowo sadar. Bahwa mantan mertuanya―Pak Harto―tidak bisa dipisahkan dari prahara korupsi. Budaya KKN yang merajalela pada masa Orde Baru, akhirnya menjadi alasan Basarah untuk melabeli Pak Harto sebagai “Guru Korupsi Indonesia”.
Fiuuhh…, ungkapan bahwa Soeharto adalah guru korupsi, tentu menimbulkan kegaduhan. Dan yang paling terusik, sudah pasti adalah keluarga dari sang jendral. Bahkan, ada pihak yang akhirnya melaporkan Ahmad Basarah, lantaran ungkapan yang dianggap menghina Soeharto tersebut (sumber).
Perihal ‘guru korupsi’ yang disematkan kepada Pak Harto, tentunya berasal dari sudut pandang. Dari perspektif, yang terbentuk berdasarkan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada masa pemerintahan Soeharto.
Menganggap bahwa Soeharto adalah biangnya perilaku koruptif di negeri ini, tentu itu merupakan sebuah sudut pandang, yang harus dibuktikan secara mendalam dan komprehensif.
Selayaknya sebuah koin, seorang manusia mempunyai dua sisi yang bertolak belakang. Sisi positif, dan sisi negatifnya masing-masing. Begitu juga dengan Pak Harto. Ketika ia berkuasa, sudah pasti ia seringkali melakukan kesalahan. Tetapi, kita jangan sampai melupakan sejumlah kontribusinya untuk menata bangsa dan negara ini. 
Setiap orang memiliki pandangan subyektifnya sendiri-sendiri. Sekarang aku menyerahkannya pada kamu sekalian. Predikat apa yang paling pantas disematkan kepada Pak Harto.



No comments:

Post a Comment