Friday 23 November 2018

Kampanye Asbun Bin Blunder Ala Oposisi


Kalau Kiai Ma’ruf Amin sempat terseok-seok lantaran isu mobil Esemka, Pak Jokowi kupikir lebih heboh lagi. Pria asal Solo ini, malah lebih sering menjadi sasaran serangan dari kubu kampret. Ibarat kata, apa pun yang terucap dari Jokowi, pasti akan dibahas. Apalagi jika pernyataannya mengandung istilah yang tidak biasa. Waaah, akan langsung dikuliti habis-habisan!
Sontoloyo dan genderuwo, menjadi dua istilah yang beberapa waktu terakhir begitu menonjol. Bagaimana tidak menonjol…? Lha wong diucapkan oleh Presiden Jokowi?! Sebagai orang Jawa, wajar bila kata-kata tersebut meluncur dari sang presiden. Karena ‘sontoloyo’ dan ‘genderuwo’ adalah istilah yang lumrah dan amat membumi bagi masyarakat Jawa.
Aku tak menaruh heran, kala Pak Jokowi melayangkan cap sontoloyo dan genderuwo kepada para politisi ‘nakal’. Kita ketahui bersama, akhir-akhir ini banyak politisi yang bisanya cuma melemparkan rasa pesimis, ketimbang menebarkan ungkapan positif dan optimisme.




Tak hanya itu. Ada pula politisi yang sukanya memberikan pernyataan menakut-nakuti. Pernyataan menyedihkan. Contohnya seperti: Indonesia akan bubar pada tahun 2030. Laahh, bubar dari mananya siehh…?! Bubar kacang ijo?! Bubar manado…?!
Pernyataan Pak Jokowi yang menggunakan istilah sontoloyo dan genderuwo, sudah pasti menimbulkan pro dan kontra. Yang kontra, pastilah para pemuja kelompok oposisi. Para kampret kejang-kejang dan kepanasan, lantaran gerah dengan stigma yang dilontarkan oleh Jokowi. Yah, berarti kaum kampret memang mengakui. Bahwa mereka memang sontoloyo dan pantas dicap sebagai genderuwo!
Titiek Soeharto. Janda Prabowo yang memilih untuk tetap mendukung mantan suaminya pada pilpres 2019. Pic source: news.detik.com


Kampanye Asbun Bin Blunder Ala Oposisi
Tentu masih membekas di benakmu, ungkapan yang terucap dari Sandi Uno. Di awal-awal masa kampanye kemarin, si Uno pernah berujar bahwa tempe yang beredar di masyarakat ukurannya tak lagi tebal. Melainkan tipis, setipis kartu ATM.
Hal ini diklaimnya, seusai mengunjungi sebuah pasar tradisional, dalam rangka aktivitas kampanyenya sebagai cawapres nomer urut 2. Barangkali lelaki ini berharap, dengan mengatakan bahwa tempe telah menjelma setipis ATM, Sandi bisa mengkonstruk sebuah pandangan. Bahwa perekonomian saat ini sedang lesu.
Dengan begitu, akan muncul anggapan bahwa pemerintah kurang maksimal dalam upaya menyejahterakan rakyat. Imbasnya, pihak oposisi berharap akan memperoleh simpati dari masyarakat.
Namun sayang, pernyataan Sandi ini malah menimbulkan polemik. Sandi dinilai lebay. Ia dianggap berlebihan, karena faktanya, tempe-tempe yang beredar di pasar-pasar seantero Nusantara, tidak semenyedihkan seperti cuap-cuapnya.
Sandi Uno tidak kapok. Belum puas dengan polemik tempe setipis kartu ATM, taipan itu kembali melontarkan pernyataan terkait isu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Sandi pernah berujar. Ia pernah menerima keluhan dari seorang ibu rumah tangga. Bahwa uang sejumlah 100 ribu, cuma bisa digunakan untuk membeli bawang dan cabai.



Ckckckkk…, apa reaksimu tatkala mendengar pernyataan di atas? Bingung? Kesal? Atau malah ingin ketawa? Huahahahaa, kalau aku sih, nggak usah ditanggapi dengan serius! Sandi Uno mah, orangnya emang gitu…?!
Ya kali, uang 100 ribu cuma bisa buat beli bawang sama cabe?! Berarti si ibunya yang harus belajar lagi jadi ibu rumah tangga! Ibu rumah tangga yang normal, sudah pasti bisa membelanjakan duit cepek itu untuk membeli sejumlah bahan makanan yang beragam, dan sesuai kebutuhan.
Alih-alih mengamini ungkapan si Sandi. Warga masyarakat malah seolah mengece sang cawapres. Respons yang timbul kemudian, banyak warga yang ramai-ramai mengetes duit 100 ribu. Bisa dapat apa saja sih, ketika dibelanjakan di pasar?! Dan faktanya, uang 100 ribu dapat menjangkau aneka bahan makanan pokok. Seperti daging ayam, telur, tahu, tempe, sayuran, sejumlah bumbu dapur, dan beras dengan jumlah seimbang.
Huaahh…, rasanya bakal tak habis-habis, kalau harus mendiskusikan berbagai statement yang keluar dari mulut Sandi Uno. Lantas bagaimana dengan pasangan Sandiaga di pilpres nanti? Hhmm, kurasa Pak Prabowo tidak jauh berbeda dengan style kampanye Sandi.
Ya, bagiku tak jauh berbeda. Sebelumnya aku sempat menyebutkan soal Indonesia yang akan bubar pada 2030. Dari mana aku mendapatkan quote yang epik ini…? Kamu pasti sudah bisa menebaknya! Tepat, pernyataan ini disampaikan oleh capres nomer urut 2, Prabowo.
Jujur, aku masih bingung. Apa ya, motivasinya Pak Prabowo mengatakan ungkapan seperti itu? Kok rasanya asbun banget. Asal bunyi! Seharusnya seorang elit politisi itu menghadirkan optimisme di tengah-tengah rakyat. Bukannya menyampaikan sesuatu yang menakutkan, pun mengerikan?!
Tak sampai di situ. Prabowo juga sempat mengatakan bahwa, 99 persen masyarakat Indonesia itu hidupnya susah! Hidupnya berada dalam kondisi yang pas-pasan. Mepet banget lah pokoknya?!
Screenshot dari detik.com

Menurut Prabowo, kondisi 99 persen rakyat yang berkehidupan pas-pasan ini didapatnya dari data Bank Dunia. Eee lahdalah…, Bank Dunia menolak klaim yang disampaikan oleh Prabowo tersebut. Menurut Bank Dunia, kondisi masyarakat Indonesia TIDAK SEBURUK itu.
Pihak Bank Dunia sudah tegas menyatakan, bahwa apa yang disampaikan Prabowo itu tidak tepat (sumber). Fiuhh, lha terus, kenapa Prabowo masih kukuh meyakini kalau 99 persen rakyat Indonesia itu hidupnya susah…? Bukankah ini malah menimbulkan imej yang negatif untuknya? Karena bebal dan tidak mau mengakui data dan fakta yang ada? Ckckckk.
Tidak saja menyangkut isu perekonomian. Baru-baru ini, kubu oposisi juga mengembuskan isu lain yang tak kalah mencengangkan. Menurut Mardani Ali Sera, agar kualitas pendidikan di dalam negeri meningkat, gaji para pendidik alias guru diminta berkisar 20 juta. Waooww…, sungguh menggiurkan bukan?!
Ehh, isu gaji guru sebesar 20 juta ini menggiurkan, atau sekadar janji yang bombastis ya…? Masalahnya, kenaikannya amatlah drastis dan terkesan tak realistis. Janji ini barangkali terdengar seperti angin surga. Namun, bisakah benar-benar diimplementasikan?
Screenshot dari detik.com

Isu gaji guru ini semakin tidak bergigi, lantaran kubu oposisi ternyata tidak satu suara. Mardani boleh saja menjadi wakil ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Tetapi pada pilpres nanti, yang menjadi kandidat tetaplah Prabowo. Dan rupanya, Prabowo tidak menyambut hangat isu yang kadung dilontarkan tersebut. Karena gaji guru yang sebesar 20 juta ini terasa berat untuk diakomodir.
By the way, tidak hanya Prabowo, Sandi Uno, atau Mardani saja yang getol bersuara untuk berkampanye. Belakangan, Titiek Soeharto juga mulai menunjukkan tajinya. Ya, jandanya Prabowo ini telah memantapkan hati untuk berada di gerbongnya Prabowo. Cieee…
Namun sayangnya, model kampanye yang terlontar dari Titiek, terasa sebelas-duabelas dengan kolega-koleganya di kubu oposisi. Jika sebelumnya, Sandi Uno pernah berujar soal uang 100 ribu yang terkesan ‘tidak berharga’. Kali ini Titiek menurunkan nominalnya menjadi 50 ribu.
Di sebuah kesempatan pada Rabu, 14 November kemarin, Titiek Soeharto menyampaikan bahwa kehidupan ekonomi masyarakat sedang minus. Menurutnya, uang sebesar 50 ribu itu tidak ada nilainya!
Kok bagiku, apa yang disampaikan Titiek ini mempunyai makna yang sama persis dengan apa yang pernah dinyatakan oleh Sandi Uno. Bahwa saking sulitnya perekonomian, uang sebesar 50 atau 100 ribu itu terasa tidak berharga.
Yaelah buk…, coba deh, sekali-sekali ke pasar tradisional?! Cobalah menjadi rakyat jelata, dan berbelanjalah selayaknya ‘ibu bangsa’ di pasar. Betapa uang 50 ribu itu masih bisa untuk membeli sejumlah bahan makanan. Tak perlu banyak deh! Takarannya secukupnya saja. Telur setengah kilo, beras sekilo, tempe, bumbu dapur, sayur 2 macam, plus tomat atau pisang. Fiuuhh, sudah cukup bergizi itu…?!    
Hhmm, musim kampanye masih tersisa 5 bulan lagi. Dan kukira, pernyataan-pernyataan nyeleneh seperti yang sudah aku sebutkan di atas, masih akan terus berembus dari kelompok oposisi.

Heran aja, gitu. Apakah mereka tidak memikirkan dampak yang bakal mereka tuai? Isu-isu bombastis yang mereka sampaikan, bisa saja tidak produktif. Melainkan malah menggembosi amunisi-amunisi yang mereka miliki. Ngomong tanpa data yang memadai alias asbun (asal bunyi), malah membikin blunder. Publik bukannya simpati. Yang ada malah antipati.



No comments:

Post a Comment