Tuesday 10 September 2019

Nggak Nyesel Nonton ‘Dua Garis Biru’


Sebelumnya aku mohon maaf, jika (lagi-lagi) artikel yang kutulis ini receh sereceh-recehnya. Tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin menulis. Mengabadikan apa pun yang tersembul dikepalaku.
Barangkali ada diantara kamu, yang bakal menganggap artikel ini receh. Receh dan nggak penting. Karena dari judulnya saja sudah ketahuan. Ada ‘Dua Garis Biru’ di situ. Secara eksplisit menandakan, bahwa tulisan ini mungkin bakal mengulik film Dua Garis Biru. Sebuah film buatan dalam negeri, yang cukup menyita perhatian belum lama ini.
Poster film Dua Garis Biru. Pic source: era.id

Oke, tebakanmu tepat. Aku memang hendak menyampaikan opiniku soal film Dua Garis Biru. Namun sebelum itu, izinkan aku berprolog terlebih dahulu. Jadi ceritanya begini. Bulan Agustus barusan, kantor tempatku bekerja sedang menghelat pagelaran tahunan.

Nah, salah satu agenda di pagelaran tersebut adalah kegiatan pemutaran film. FYI, di kantorku terdapat sebuah ruang teater mini. Berkapasitas sekitar 50 orang. Dan teater ini didesain tak ubahnya studio di bioskop. Jadi lumayan representatif lah, buat ngundang orang untuk nonton film tipis-tipis.
Salah satu film yang dipertontonkan bulan kemarin adalah Keluarga Cemara. Wah, sebagai pelaksana kegiatan pemutaran film, sengaja aku merekomendasikan film ini sebagai salah satu film nondokumenter, yang bisa diputar untuk para tamu undangan. Tatkala top manajemen setuju, tentu aku senang bukan main.
Dan hasilnya…? Sungguh memuaskan! Nyaris tak ada yang kecewa dengan pilihan film yang kuajukan ini. Keluarga Cemara memang jempolan. Bukan film kaleng-kaleng, deh! Kualitasnya tak jauh berbeda dengan Keluarga Cemara versi serial televisi, yang pernah populer ketika aku masih sekolah dasar era akhir 1990-an dulu.
Aku sengaja memilih Keluarga Cemara, tidak cuma lantaran ceritanya yang memukau dan sarat pesan. Bukan pula karena dibintangi aktor kelas wahid seperti Agus Ringgo, Nirina Zubir, dan Asri Welas. Tetapi, aku tertarik dengan Keluarga Cemara karena ada Zara JKT48.
Well, perlu kusampaikan. Aku bukanlah fans garis keras dari grup JKT48. Namun sekadar pengetahuan, aku cukup hapal beberapa member JKT48 yang memang charming. Diantaranya seperti Nabilah, Haruka, dan Melody. Namun yang kekinian, dialah Zara.
Pertama melihat penampakan Zara JKT48 tampil di layar lebar, adalah lewat film Dilan 1990. Zara berperan sebagai adiknya Dilan (Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan). Barulah di Keluarga Cemara, Zara berkesempatan menjadi aktris pemeran utama.
Patut kuakui, penampilan Zara di Keluarga Cemara sungguh memikat. Ia mampu menghidupkan karakter Euis dengan impresif. Bagiku, Zara JKT48 sanggup mengimbangi Agus Ringgo dan Nirina Zubir yang level aktingnya sudah mumpuni.
Karena itulah, sepertinya pelan-pelan aku telah menjadi salah satu pengagum Zara JKT48. Sebagai orang awam aku hanya bisa berkata, bahwa Zara memang berbakat menjadi seorang aktris. Kukira, Zara bakal menjadi salah satu bintang yang bersinar cemerlang di jagat perfilman tanah air.
***
Aku masih ingat. Awal mula aku mengetahui soal film Dua Garis Biru, dari linimasa Twitter. Ada cuitan yang menyiarkan trailer sebuah film, yang judulnya Dua Garis Biru. Cuitan yang berisi link menuju Youtube tersebut, iseng kubuka. Dan mainlah trailer film Dua Garis Biru tersebut.
Waaoooww…, aku langsung excited. Karena Dua Garis Biru menampilkan Zara JKT48 sebagai aktrisnya! Gadis ini kembali menjadi pemeran utama, dan kali ini bertandem dengan aktor muda lainnya, Angga Yunanda.



Seperti yang kita tahu, alat untuk mengetes kehamilan atau test pack akan menunjukkan dua garis berwarna biru, jika urin orang yang dites  sedang hamil. Dari trailer Dua Garis Biru, jujur aku langsung tertarik dengan film ini.
Trailer dan judulnya sedikit banyak telah memberiku sebuah clue. Asumsiku, tokoh-tokoh remaja dalam Dua Garis Biru mengalami kejadian yang menyebabkan mereka harus menghadapi kehamilan di usia yang masih sangat muda. Sesuatu yang sebenarnya klise, dan sudah bukan hal yang baru dalam masyarakat kita.
Oleh karena itu, aku bertekad bulat untuk menonton film ini. Namun sayangnya, aku tinggal di sebuah kota, dimana bioskop belum ada. Hikkss…, sedih ya? Asal kamu tahu. Aku harus pergi ke ibukota provinsi, untuk dapat mengakses bioskop. Dan jarak ibukota provinsi dengan kotaku, sekitar 2 jam perjalanan darat.
Tetapi rezeki tidak kemana. Bulan Juli lalu, aku berkesempatan melaksanakan tugas ke Makassar. Momen ini tidak kusia-siakan. Kususun rencana. Pokoknya saat berada di Makassar nanti, aku harus menyempatkan diri ke bioskop.
Yah, sambil menyelam minum air dong. Selepas pekerjaanku selesai, pada Rabu malam, 24 Juli kemarin, akhirnya aku bisa menonton Dua Garis Biru. Horeee…!!! Kupesan Grab dari hotel menuju Mal Ratu Indah. Kupilih mal ini, karena letaknya paling dekat dengan hotel tempatku menginap.

Pic source: pribadi
Terdapat Studio XXI di Mal Ratu Indah. Sayangnya aku datang agak terlambat. Untuk film Dua Garis Biru, tinggal satu sesi pemutaran terakhir yakni jam 21.10 Wita. It’s ok, aku sudah terlanjur datang. Aku harus tetap nonton! Mumpung aku berada di kota yang ada bioskopnya…?! Hahaa.
Kuamati sekelilingku, studio tak terisi penuh. Mungkin hanya separuhnya. Maklum sih, memang sudah malam. Apalagi weekday. Film pun diputar. Dua Garis Biru dibuka dengan adegan yang menunjukkan bahwa Zara JKT48 yang berperan sebagai Dara, berpacaran dengan Bima (Angga Yunanda).
Menurutku, Dua Garis Biru tidak bertele-tele. Di menit-menit awal, sudah ditampilkan bagaimana Dara dan Bima terbawa suasana, kemudian melakukan ‘kesalahan’. Dari sini, konflik pun mengalir. Dara mulai khawatir, lantaran tak kunjung mengalami menstruasi, pasca melakukan kebodohan bersama Bima.
Hingga akhirnya Bima membelikan test pack untuk Dara. Dan bisa ditebak, garis biru muncul dua strip. Dara positif hamil. Bak tersambar petir. Kenyataan ini membuat Bima mau pun Dara limbung bukan main.
Mereka berdua benar-benar tidak menyangka. Bahwa ‘perbuatan’ mereka yang cuma sekali, ternyata menimbulkan dampak yang luar biasa. Ada janin yang sedang tumbuh dalam rahim Dara.
Salah satu adegan Dua Garis Biru. Pic source: kincir.com

Bima dan Dara yang masih berstatus pelajar SMA, tak bisa membayangkan. Bagaimana masa depan mereka, dengan adanya peristiwa kehamilan ini. Ide untuk aborsi pun terpikir oleh Bima. Dara yang awalnya mengikuti saran Bima untuk aborsi, di last minutes membatalkannya. Dara tidak tega untuk mengakhiri hidup si jabang bayi di dalam perutnya.
Bima pun tidak memaksa Dara untuk tetap aborsi. Mereka berdua memikirkan beragam cara, untuk menyembunyikan kehamilan ini. Tak dinyana, sebuah insiden membuat rahasia mereka berdua terkuak.
Kedua orangtua Bima mau pun Dara, bersitegang setengah mati, kala mengetahui perbuatan kedua anak remajanya. Di momen inilah, ibu Dara (Lulu Tobing) terbawa emosi dan meninggalkan Dara. Seolah tak ingin mengurusi putrinya itu lagi.
Adegan ini bagiku sungguh dramatis. Sekaligus membuatku getir. Barangkali di kehidupan nyata masyarakat kita, adegan seperti ini kerapkali terjadi. Orangtua merasa terpukul dengan kenyataan, bahwa anaknya hamil diluar nikah.
Tetapi bukannya orangtua merangkul anak yang sedang dilanda kemalangan tersebut. Yang ada, orangtua malah ‘meninggalkan’ si anak. Karena merasa anak itu telah berbuat aib dan mencoreng nama keluarga. Dengan begitu, si anak malah semakin terpuruk.
Kemarahan keluarga Dara tak berlangsung lama. Dara kembali bersama keluarganya. Perut Dara yang semakin membesar, membuat keluarga Dara dan Bima menyingkirkan ego masing-masing.
Berasal dari keadaan ekonomi dan habit yang berbeda, menjadi tantangan awal relasi yang terjalin antara keluarga Bima dan keluarga Dara. Mau tak mau mereka harus membangun hubungan. Terlebih ketika akhirnya Bima resmi menikahi Dara.
Salah satu adegan Dua Garis Biru. Pic source: gwigwi.com

Konflik pun tak otomatis berhenti. Sebagai seorang suami, Bima harus belajar bekerja. Mencari nafkah untuk menghidupi Dara dan calon bayi mereka. Dari bagian inilah dapat diambil pelajaran. Bahwa sebuah pernikahan membutuhkan kematangan dari segi usia.
Tak bisa dipungkiri. Level usia akan memengaruhi tingkat kematangan seseorang. Lalu bagaimana bisa…? Seorang remaja umur belasan, tiba-tiba harus berlaku selayaknya orang dewasa? Harus bertanggung jawab atas keluarga kecilnya? Kurasa ini bukan suatu perkara sederhana.
Ada satu adegan, dimana Bima dan Dara terlibat konflik. Lantaran Bima keasyikan bermain game di ponsel. Sementara Dara mengingatkan Bima untuk lebih serius belajar. Agar lulus SMA dan berkuliah tepat waktu.
Bima tidak terima dan balik menyerang Dara. Alasan Bima, dia hanya ingin bersantai sejenak. Karena bersekolah sekaligus bekerja, membuatnya letih bukan main. Bima malah mencibir Dara.
“Kamu sih enak, di rumah aja. Aku…? Capek kerja?! Masih harus sekolah lagi…”
Bima yang kesal, memutuskan meninggalkan Dara untuk pulang ke rumah orangtuanya. Dari sini tergambar, bahwa rumah tangga bukan hal yang sepele. Diperlukan kematangan dari banyak sisi, untuk membangun sebuah keluarga. Sebuah rumah tangga.
Hari persalinan pun tiba. Dara berhasil melahirkan bayinya. Namun diceritakan ia harus merelakan rahimnya diangkat, untuk menyelamatkan nyawanya sendiri. Duh…, hamil diluar nikah, married by accident, ditambah pengangkatan rahim. Klop sudah. Betapa malangnya nasib Dara.
Tetapi rasanya, lebih malang nasib si jabang bayi. Setelah ia lahir, ia tidak dapat diasuh oleh ibunya sendiri. Ya, Dara lebih memilih untuk terbang ke Korea. Tepat, ending yang sungguh sendu.
***
Dalam perjalanan pulang ke hotel, jujur. Aku masih terngiang-ngiang dengan Dua Garis Biru yang baru saja selesai kutonton. Film ini tak sekadar memukau dari segi estetis. Dari segi akting para pemain, ditambah scoring (musik pengiring) yang jempolan. Ada banyak pesan yang dapat diulas.
Bahwa keluarga memegang peranan sentral, pada masa tumbuh kembang seorang anak. Terlebih tatkala anak itu sedang menginjak fase remaja alias usia belasan. Sedikit saja keluarga lengah, akan bisa terjadi kisah seperti Bima dan Dara diatas.
Oh ya. Sepanjang jalannya film, aku tak menemukan adegan yang bisa dikategorikan ‘konsumsi dewasa’. Jadi aku telah membuktikan sendiri. Film ini tidak seburuk apa yang dituduhkan sejumlah kalangan.
Memang sempat tersiar isu. Bahwa Dua Garis Biru tidak layak ditonton. Karena sarat akan konten dewasa yang tidak mendidik. Seusai aku menonton filmnya, asumsi ini terpatahkan dengan sendirinya.
Oleh sebab itu, aku mempunyai saran untuk pembaca semua. Saran ini juga berlaku untuk diriku sendiri. Jangan mudah percaya dengan segala isu yang berhembus, khususnya yang ada di media sosial.
Menyikapi setiap isu yang muncul, seyogianya ditanggapi dengan pertimbangan yang matang. Tidak mudah percaya begitu saja. Cari referensi lebih lanjut. Dan kalau perlu, lakukan pembuktian dengan mata kepala sendiri. Barulah kemudian, afdol untuk mengeluarkan reaksi atas isu yang bersangkutan.



No comments:

Post a Comment