Wednesday 28 August 2019

Cuap-cuap Soal Papua

Akhirnya…, setelah sekian lama absen, kembali kusambangi blogku ini. Berhasil mengalahkan segala kemalasan, untuk kembali menorehkan tulisan didalamnya. Mengumpulkan segenap energi, untuk mengabadikan pemikiran dan opini yang mencuat di benak.
Ketika kamu sedang membaca tulisan ini, barangkali isu yang sedang hot dibicarakan adalah soal pengumuman calon ibukota baru dari Indonesia. Ya, Presiden Joko Widodo akhirnya menjawab teka-teki daerah mana, yang bakal menggantikan posisi Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota.
Dan jawabannya adalah…, Provinsi Kalimantan Timur! Yeaayy, selamat…! Lebih tepatnya berada di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara.

Tapi, maafkan aku. Informasi soal calon ibukota baru diatas, hanyalah intermezo. Kali ini aku tidak akan membahas responsku terkait pengumuman Kaltim sebagai bakal ibukota baru negara Indonesia. Seperti judul yang kububuhkan diatas, aku akan cuap-cuap soal Papua.
Papua? Hhmm…
Yenny Wahid mengenakan atribut dari Papua. Pic source: instagram.com/yennywahid

Dimulai ketika aku membaca status Facebook dari salah satu dosen kuliahku dulu. Peristiwa ini terjadi sekitar dua hari sebelum peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74 barusan.
Dosenku ini, tinggal di Kota Malang. Jadi wajar saja, kalau sejumlah status medsosnya membahas soal isu apa pun yang sedang happening di Malang. Termasuk, soal polemik yang terjadi di area Kayutangan. Dimana sempat terjadi gesekan antara penduduk setempat, dengan para mahasiswa asal Papua yang sedang melakukan aksi long march. Cmiiw (sumber).
Menurut status dosenku, aksi yang dilakukan mahasiswa Papua di Malang tersebut timing-nya tidak tepat. Di pertengahan bulan Agustus ini, merupakan momen yang istimewa bagi warga Malang, khususnya Aremania. Karena setiap tanggal 11 Agustus, dirayakan sebagai hari kelahiran Arema, kesebelasan kebanggaan warga Malang Raya.
Aksi long march yang dilakukan mahasiswa Papua itu, tentu boleh-boleh saja. Karena mengutarakan pendapat, pandangan, opini, adalah hak asasi setiap orang. Namun, hak untuk menyampaikan pendapat ini sudah seyogianya mengikuti aturan-aturan yang berlaku.



Dari berita yang kubaca, aksi mahasiswa Papua di Malang kemarin, belum mengantongi izin dari pihak berwenang. Selain itu, tujuan dari aksi mereka, konon soal peringatan Perjanjian New York 15 Agustus 1962.
Dengan kata lain, ada sangkut pautnya dengan polemik Papua merdeka. Papua merdeka, yang berdiri sendiri sebagai wilayah yang berdaulat. Papua yang bukan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ckckckkk…, mungkin karena dua alasan inilah, yang membuat warga setempat kurang berkenan dengan aksi long march yang dijalankan para mahasiswa asal Papua tersebut.
Bisa jadi, gesekan di Malang kemarin terasa ‘ramai’ lantaran berbarengan dengan momen perayaan kelahiran Arema. Dimana warga Malang sedang larut dalam euforia sebagai aremania. Dan secara psikologis, euforia ini barangkali tidak ingin terganggu dengan aksi-aksi yang dinilai bertentangan dengan keutuhan NKRI.
Well, tulisan ini pure my honest opinion. Jadi kalau ada diantara kalian yang kurang berkenan atau tidak setuju, mohon maaf ya. Silakan sampaikan reaksi kalian di kolom komentar dibawah. Hehee…
***
Hmm, jadi begini. Tidak hanya karena aku membaca status medsos dari dosenku. Ada hal lain yang turut membuatku tergerak untuk bercuap-cuap soal Papua. Oke, fine. Aku lanjutkan ceritaku.
Hari Sabtu (24/8) lalu, aku diharuskan masuk ke kantor. Aku yang sudah terbiasa hanya bekerja di weekday, tentu saja malas bukan main. Bagiku, Sabtu dan Minggu adalah hari beristirahat. Hari untuk tidak mengurusi pekerjaan, hehee. Namun karena perintah atasan dan manajemen, mau tak mau harus kuturuti.
Rupanya, agenda di kantor hari Sabtu kemarin adalah, adanya sosialisasi yang diadakan oleh Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan. Fiuuhh…, aku hanya bisa menahan dongkol. Apa pula yang dikerjakan orang-orang Kemenkeu nieehh…?! Sabtu-sabtu ngadain sosialisasi?!
Pic source: pribadi

Tapi ya sudahlah. Tak ada gunanya mengeluh disini. Toh, sudah kujalani juga. Dan setelah kuikuti agenda sosialisasi tersebut, not bad. Ada informasi-informasi baru yang kudapatkan. Yaahh…, ada hikmahnya lah. Dibela-belain hari Sabtu ke kantor. Hehe.
Intinya sih, sosialisasi yang kuhadiri kemarin menginformasikan soal pokok-pokok kebijakan belanja pemerintah pusat periode 2019-2020. Termasuk serba-serbi siklus pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Yah, harap maklum. Namanya juga instansi pemerintah, heuheuheuu.
Namun yang paling menarik dari sosialisasi kemarin adalah, ada secuil informasi terkait Papua. Papua…? Weeeww, menarik nih. Salah satu fokus pemerintah pusat untuk tahun depan adalah persiapan Provinsi Papua yang ketiban sampur menjadi tuan rumah PON 2020.
Seperti kita ketahui. Tahun depan, kembali akan diselenggarakan Pekan Olahraga Nasional (PON). Dan yang berkesempatan menjadi tuan rumah PON 2020 adalah Papua. Diputuskannya Papua menjadi tuan rumah ajang olahraga terakbar di tanah air tersebut, tentu ada alasannya.
PON adalah event olahraga tingkat nasional yang berlangsung hanya empat tahun sekali. Sejak PON tahun 2000, DKI Jakarta tak pernah lagi menjadi tuan rumah. Pemerintah berupaya untuk mendorong provinsi diluar ibukota negara, agar mampu dan bersedia menjadi host PON.



Terpilihnya Papua untuk penyelenggaraan PON 2020, patut diapresiasi. Sebagai wilayah paling timur dari Indonesia, Papua identik sebagai daerah yang tingkat pembangunannya belum bisa disejajarkan dengan wilayah lainnya di Indonesia. Dengan kata lain, bisa disebut tertinggal.
Oleh sebab itulah, Papua dipilih untuk menjadi tuan rumah PON 2020. Dengan harapan, pelaksanaan PON dapat meningkatkan taraf perekonomian warga Papua. Menjamu ribuan atlet dari 33 provinsi lainnya, tentu bisa mendongkrak pemasukan masyarakat Papua. Bahkan tidak cuma atlet dan official. Ada pula wisatawan yang sengaja datang ke Papua, untuk menonton perhelatan PON atau sekadar berwisata alias pelesir.  
Keuntungan juga datang dari berbagai arena yang bakal digunakan sebagai venue pertandingan PON. Selepas PON, fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai sarana untuk berolahraga dan kegiatan lainnya.
Pemilihan Papua sebagai tuan rumah PON 2020, tujuannya tak lain adalah untuk pemerataan. PON sudah pernah berlangsung di pulau Sumatera. Tepatnya pada 2004 di Sumsel dan Riau pada 2012. PON sudah pernah menghampiri pulau Kalimantan, tepatnya pada 2008 di Kaltim. PON juga sudah berulangkali di pulau Jawa. DKI Jakarta, Jabar, Jateng, dan Jatim sudah pernah menjadi penyelenggara PON.
Dengan dipilihnya Papua, maka wilayah timur Indonesia memiliki kesempatan untuk merasakan euforia sebagai tuan rumah event olahraga nasional seperti PON. Sehingga diharapkan berkurangnya gap atau rasa kesenjangan yang dirasakan masyarakat Papua, terhadap saudara-saudara sebangsa di wilayah lainnya.
***
Aku pribadi sungguh prihatin. Sungguh menyayangkan dengan apa yang terjadi di bumi Papua pada Senin (19/8). Yang kutonton di layar televisi, ada peristiwa pembakaran di Manokwari. Situasi memanas di Papua Barat. Begitu juga di Papua.
Kondisi diatas dipicu oleh sejumlah insiden yang menimpa mahasiswa-mahasiswa Papua yang sedang belajar di Jawa Timur. Termasuk insiden yang terjadi di Malang, yang sudah aku bahas diawal.
Aku cuma berharap, semoga ketegangan di Papua tidak berkepanjangan. Situasi di sana segera mereda. Tensi segera menurun, dan kembali seperti sedia kala. Hal ini bisa dicapai, jika kita semua saling pengertian, dan saling menghargai.
Aku masih percaya. Bahwa keputusan para founding fathers di masa lalu yang bersikukuh memasukkan Papua bagian barat sebagai wilayah dari Republik Indonesia, adalah tepat. Papua adalah bagian Indonesia. Orang Papua adalah orang Indonesia. Sama seperti orang di pulau-pulau lainnya di bumi Nusantara ini.
Tak bisa kubayangkan, apabila Papua bernasib sama seperti provinsi Timor Timur. Ya, provinsi termuda itu lepas dari pangkuan ibu pertiwi pada 1999. Jangan sampai, peristiwa disintegrasi kembali membayangi Indonesia saat ini. Tak ada yang lebih menyedihkan ketimbang disintegrasi bangsa.



No comments:

Post a Comment