Monday 31 December 2012

Habibie & Ainun: Antara Cinta, Spirit, dan Pengabdian untuk Indonesia (Catatan Akhir Tahun Film Indonesia-Bag.2-Habis)

Film Indonesia keempat yang saya tonton di bioskop adalah Habibie-Ainun. Dari awal, saya sangat tertarik untuk menonton film ini. Dari awal saya sudah menjelaskan. Bahwa saya selalu tertarik melihat film yang menceritakan tokoh-tokoh Indonesia. Kali ini tokoh tersebut bukan tokoh sembarangan. Dia adalah B. J. Habibie, presiden ketiga Republik Indonesia.
Habibie-Ainun diadaptasi dari buku berjudul serupa tulisan Pak Habibie sendiri. Buku tersebut adalah buku yang ditulisnya untuk mengenang mendiang istrinya. Ibu negara Hasri Ainun Habibie. Saya belum sempat membaca bukunya. Maka dari itulah, saya harus menonton filmnya di bioskop. Penasaran.
Karena mengangkat kisah seorang Habibie yang pernah menjabat sebagai presiden, tentu film ini akan menyuguhkan berbagai peristiwa yang berhubungan dengan politik. Khususnya mengenai masa reformasi, masa dimana Habibie naik menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Habibie-Ainun bercerita tentang perjalanan cinta Habibie dengan Ainun. Mulai dari masa sekolah menengah, hingga maut memisahkan mereka pada 2010. Bagaimana pertemuan mereka berdua di Bandung. Pernikahan yang akhirnya membuat Ainun melepas karir dokternya di Indonesia dan mendampingi Habibie di Jerman. Semuanya begitu indah. Negeri Jerman menaungi Ainun menemani Habibie dalam meraih impian untuk membuat pesawat bagi Indonesia.
Inilah salah satu alasan, mengapa saya menyukai media film. Karena dari film, sedikit banyak saya mendapatkan informasi dan pengetahuan. Seperti bagaimana kecewanya Habibie ketika pengajuannya untuk membangun industri pesawat, tidak ditanggapi positif pada masa presiden Soekarno.
Lalu, impian Habibie untuk membuat pesawat akhirnya terwujud, saat pemerintahan Soeharto memfasilitasinya membangun industri pesawat. Industri itu terwujud di Bandung dengan nama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Di waktu yang sama, Habibie harus meninggalkan Ainun yang perlahan telah memiliki karir sebagai pediatrician di Jerman. Apalagi mereka telah dikaruniai 2 anak, Ilham dan Thareq.
Saya cukup tergelitik dengan pemaparan, bagaimana Habibie berusaha keukeuh menolak berbagai aksi suap yang datang dari pengusaha-pengusaha nakal.
Satu bagian yang menurut saya adalah klimaks dari film ini, dimana diceritakan pada 10 Agustus 1995, Habibie mempersiapkan penerbangan pertama pesawat buatan IPTN. Pesawat ini bernama Gatotkoco N250. Saya masih ingat, saya duduk di kelas 2 SD saat pesawat N250 tersebut, mampu meningkatkan gengsi Indonesia di mata dunia. Bahkan salah satu buku lembar kerja siswa (LKS) ketika saya SD kala itu, memiliki cover suasana penerbangan pertama N250 yang legendaris itu.
Saya pun jadi tahu. Bahwa presiden Soeharto sempat tidak akan mendatangi penerbangan pertama N250 itu. Apakah benar? Rasanya saya harus membaca bukunya untuk memperoleh jawaban lengkap.
Film ini juga menampilkan fase reformasi pada 1998. Dimana puncaknya, Soeharto memutuskan untuk mundur sebagai presiden. Dan ini malah membawa Habibie naik menjadi orang nomor satu di Indonesia. Sebagai presiden ketiga, sekaligus presiden dengan masa jabatan terpendek, yakni Mei 1998 sampai Oktober 1999.
Habibie memang tak mau lagi dicalonkan sebagai presiden pada pemilu 1999. Satu noktah hitam pada pemerintahannya, adalah lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Sehingga Timor Timur hanya “sebentar” menjadi bagian Indonesia (1976-1999). Konon, saat Timor Timur masuk kedalam wilayah Indonesia pada 1976 pun, dunia internasional belum mengakuinya. Perihal Timor Timur ini, hanya disajikan dalam sejumlah kecil adegan dalam film.
Setelah tak lagi berada dalam pemerintahan, Habibie bisa bernapas lega. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga. Dengan Ainun, dan kedua putranya. Namun ada bagian yang sungguh membuat mata tak mampu menahan air, ketika Habibie mendatangi hanggar IPTN di Bandung. Dia menangis di hadapan Ainun, betapa kecewanya dia. IPTN yang telah berubah menjadi PT. Dirgantara Indonesia, tak lagi diurus dengan baik. Tak lagi bisa memberikan kebanggaan untuk Indonesia. Padahal, Habibie rela kehilangan waktu bersama Ainun dan keluarga, hanya demi membesarkan industri pesawat terbang nasional.
Di akhir-akhir film, digulirkan cerita bagaimana kesehatan Ibu Ainun yang kian menurun. Puncaknya, pada Mei 2010, kanker telah menyebar dan akhirnya merenggut nyawa sang mantan ibu negara.
Kemampuan akting Reza Rahadian tak perlu diragukan. Dia mampu membawakan tokoh Habibie dengan body language yang menarik. Meski terkadang berlebihan. Lalu Bunga Citra Lestari? Dengan wajah dan kulit khas Indonesia, Bunga bisa membawakan tokoh Ainun dengan meyakinkan. Chemistry diantara mereka berdua terbangun apik sepanjang cerita.
Habibie: Ainun, gula pasirku.

2 comments: