Rasanya baru kemarin, aku menarik
selimut di malam terakhir tahun 2023. Pada malam tahun baru lalu, aku
memutuskan tidak ke mana-mana. Cuaca juga tidak mendukung di tempat tinggalku. Di
Gadut, Agam, hujan telah turun sejak sore. Membuatku amat nyaman untuk
menghabiskan malam tahun baru di rumah saja.
Jadi, jika kamu bertanya pengalamanku
tatkala momen pergantian tahun barusan, aku dengan sigap akan menjawab: tidur
di kasurku yang empuk. Saat bangun kembali, jam di ponsel telah berubah menjadi
1 Januari 2024. Alhamdulillah. Tahun baru, semangat baru. Dan target baru tentunya.
Saat aku menuliskan ini, tiba-tiba sudah hari ketujuh di tahun baru. Fiuuhh … saat ini aku telah berusia 36 tahun. Sungguh tak terhitung, sepanjang usiaku ini aku telah bertemu dengan orang-orang yang beragam jenisnya.
Aku percaya. Setiap wajah, membawa satu
cerita unik. Setiap orang, mempunyai ceritanya masing-masing. Kali ini aku
ingin bercerita, yang kurang lebihnya seperti judul yang telah kububuhkan di
atas.
Pada Selasa, 2 Januari 2024. Adalah hari
pertamaku bekerja di tahun baru ini. Aku pulang ontime sekira jam empat sore. Mendung telah menggumpal di langit
Bukittinggi kala itu. Aku bergegas menuju parkir dan hendak melesat pulang.
Rupanya aku sedang kurang beruntung. Klise.
Ban belakang motorku kempes. Sial! Bocor lagi, batinku. Aku tak bisa langsung
menuju rumah. Aku harus mencari tukang tambal ban terdekat. Akhirnya kujalankan
motor pelan-pelan. Aku menghampiri tukang tambal ban langgananku yang berjarak
sekira dua kilometer dari kantorku.
Alhamdulillah, pak tukang tambal sedang
buka. Tanpa berlama-lama kuminta beliau untuk mengurusi ban kempesku. Seraya menambal
banku yang kembali berlubang, beliau berujar, “Ban belakangnya udah gundul. Waktunya
diganti, Bang”.
Pic source: dok pribadi |
Aku menimpalinya sembari mendekat ke arah
ban belakangku. Ya, sudah halus sih, batinku lagi. Aku berjanji dalam hati. Sebentar
lagi aku akan mengganti ban luar bagian belakang. Saat pak tukang tambal sedang
bekerja, akhirnya hujan turun. Hujan yang biasa saja. Tanpa angin dan tidak begitu
deras.
Sambil menunggu pak tukang memberesi
ban motorku, aku melamun. Ya, hampir lima tahun aku telah hidup di Bukittinggi.
Aku sudah mulai terbiasa dengan kehidupan di ranah Minang ini. Meski aku belum bisa
bercakap dalam bahasa Minang, tetapi sedikit-sedikit aku paham kala mendengar
orang lokal berbicara. Hahaa.
Hujan masih turun tatkala pak tukang
telah rampung memberesi ban motorku. Hhmm, aku masih ingin di sini. Belum ingin
beranjak, lantaran hujan masih turun. Ya, aku amat malas harus memakai mantel
atau jas hujan. Ribet!
Sembari menunggu, akhirnya pak tukang
mengajakku bercengkerama. Kami mengobrol hal yang ringan-ringan. Soal musim
hujan. Soal macetnya Bukittinggi kala musim liburan. Dan soal personal diriku.
Aku senang. Pak tukang tambal bukanlah
orang yang suka menghakimi. Beliau hanya mendengar, dan menimpali seperlunya. Karena
memang kami berdua tidak kenal dekat. Kami hanya bersua kala ban motorku bocor.
Hahaa.
Hujan semakin reda, meski masih ada
rinai. Arlojiku sudah menunjukkan pukul setengah enam. Akhirnya aku pamit
kepada pak tukang tambal. Sebelum aku pergi, beliau bertanya, “Bawa mantel?”
“Bawa sih,” jawabku.
“Dipakai aja,” ujarnya lagi.
“Hhmm, males,” jawabku lagi seraya
menggeleng.
Pak tukang tambal tak lagi memintaku
memakai jas hujan. Akupun pamit padanya dan berlalu. Saat aku berjalan, hujan
memang sudah cukup reda. Namun aku salah. Saat sampai di area pacuan kuda, yang
berada sekira dua kilometer dari tempat tukang tambal ban, hujan kembali
mengganas. Bahkan deras.
Aku yang sedang memakai jaket berbahan
kain, langsung kuyup. Aku langsung berhenti dan mengenakan jas hujan. Sembari mengenakan
jas hujan, aku mengutuki diriku. Aku memang keras kepala. Padahal sudah
dinasihati oleh pak tukang tambal untuk memakai mantel. Namun aku abai. Inilah
hasilnya. Aku kehujanan di tengah perjalanan.
Akupun melanjutkan perjalanan ke rumah.
Sembari jalan, aku merenung. Kadang, tak ada salahnya untuk mendengarkan masukan
dari orang lain. Mungkin, masukan itu adalah nasihat yang amat berguna. Aku agak
menyesal. Kenapa perkataan pak tukang tambal tidak kugubris dengan baik.
***
Cerita awal tahunku berlanjut keesokan
harinya. Rabu, 3 Januari 2024. Hari itu aku sengaja pulang telat, lantaran
mengerjakan SKP PNS untuk triwulan 4 2023. Di meja kerjaku, kuputar musik kesukaanku
sembari mengunggah bukti kinerjaku ke aplikasi milik BKN.
Waktu itu menjelang maghrib, tiba-tiba
instagramku menerima direct messages (DM).
Dari siapa ini? Batinku. Rupanya DM dari salah satu rekan kerjaku di kantor. Dia
berbeda ruangan denganku. Kubaca sekilas.
“Hati-hati Mas … ”
Aku sedikit terhenyak dengan kalimatnya
ini. Maksudnya? Yang kurasa aku malah merinding. Karena ini sudah hampir maghrib.
Refleks aku malah mendongak ke arah luar ruanganku. Di lobi kantorku sudah nyaris
gelap. Petugas security kadang tidak
menyalakan lampu-lampunya. Aku berdiri dan menghampiri lobi. Kunyalakan lampu. Menyala
dengan normal.
Aku menghela napas lega. Aku kembali ke
mejaku. Aku masih penasaran. Kenapa dia mengirim kalimat agar aku berhati-hati?
Akhirnya kubuka DM-nya. Rupanya dugaanku salah. Ini tidak ada hubungannya
dengan hal horor atau semacamnya.
Kalimat yang dikirimkannya itu
dilengkapi dengan sebuah reels. Reels
itu menunjukkan sebuah berita. Terkait pemilu. Ya, tahun ini adalah tahun
politik. Semuanya sungguh sensitif. Apalagi bagiku yang seorang ASN. Yah, (katanya)
ASN harus netral dalam menanggapi situasi pemilu ini.
Dalam berita itu ditunjukkan, ada oknum
ASN yang menerima sanksi lantaran berlaku tidak netral. Mereka membuat sebuah
video yang menunjukkan dukungan kepada seorang kontestan pilpres.
Oh, aku tahu benang merahnya. Rekan kerjaku
ini mengirimiku reels tersebut supaya aku berhati-hati. Khususnya dengan
konten-kontenku di media sosial. Aku tersenyum kecil. Rupanya, unggahan-unggahanku
yang receh di medsos pribadiku ada juga yang memperhatikan. Hahaa.
Baiklah. Sama seperti kala aku mendengar
masukan dari pak tukang tambal ban sehari sebelumnya. Sepertinya aku perlu
menurunkan kadar egoku. Dan mau mendengarkan nasihat yang coba orang berikan
padaku. Wejangan-wejangan ini, barangkali cuma sebatas angin lalu. Namun apabila
ternyata wejangan-wejangan itu benar, tentu aku akan merugi jika aku tak
mendengarkannya.
No comments:
Post a Comment