Sunday 7 January 2024

Awal Tahun dan Wejangan yang Kudapatkan

Rasanya baru kemarin, aku menarik selimut di malam terakhir tahun 2023. Pada malam tahun baru lalu, aku memutuskan tidak ke mana-mana. Cuaca juga tidak mendukung di tempat tinggalku. Di Gadut, Agam, hujan telah turun sejak sore. Membuatku amat nyaman untuk menghabiskan malam tahun baru di rumah saja.

Jadi, jika kamu bertanya pengalamanku tatkala momen pergantian tahun barusan, aku dengan sigap akan menjawab: tidur di kasurku yang empuk. Saat bangun kembali, jam di ponsel telah berubah menjadi 1 Januari 2024. Alhamdulillah. Tahun baru, semangat baru. Dan target baru tentunya.

Saat aku menuliskan ini, tiba-tiba sudah hari ketujuh di tahun baru. Fiuuhh … saat ini aku telah berusia 36 tahun. Sungguh tak terhitung, sepanjang usiaku ini aku telah bertemu dengan orang-orang yang beragam jenisnya.

Aku percaya. Setiap wajah, membawa satu cerita unik. Setiap orang, mempunyai ceritanya masing-masing. Kali ini aku ingin bercerita, yang kurang lebihnya seperti judul yang telah kububuhkan di atas.

Pada Selasa, 2 Januari 2024. Adalah hari pertamaku bekerja di tahun baru ini. Aku pulang ontime sekira jam empat sore. Mendung telah menggumpal di langit Bukittinggi kala itu. Aku bergegas menuju parkir dan hendak melesat pulang.

Rupanya aku sedang kurang beruntung. Klise. Ban belakang motorku kempes. Sial! Bocor lagi, batinku. Aku tak bisa langsung menuju rumah. Aku harus mencari tukang tambal ban terdekat. Akhirnya kujalankan motor pelan-pelan. Aku menghampiri tukang tambal ban langgananku yang berjarak sekira dua kilometer dari kantorku.

Alhamdulillah, pak tukang tambal sedang buka. Tanpa berlama-lama kuminta beliau untuk mengurusi ban kempesku. Seraya menambal banku yang kembali berlubang, beliau berujar, “Ban belakangnya udah gundul. Waktunya diganti, Bang”.

Pic source: dok pribadi


Aku menimpalinya sembari mendekat ke arah ban belakangku. Ya, sudah halus sih, batinku lagi. Aku berjanji dalam hati. Sebentar lagi aku akan mengganti ban luar bagian belakang. Saat pak tukang tambal sedang bekerja, akhirnya hujan turun. Hujan yang biasa saja. Tanpa angin dan tidak begitu deras.

Sambil menunggu pak tukang memberesi ban motorku, aku melamun. Ya, hampir lima tahun aku telah hidup di Bukittinggi. Aku sudah mulai terbiasa dengan kehidupan di ranah Minang ini. Meski aku belum bisa bercakap dalam bahasa Minang, tetapi sedikit-sedikit aku paham kala mendengar orang lokal berbicara. Hahaa.

Hujan masih turun tatkala pak tukang telah rampung memberesi ban motorku. Hhmm, aku masih ingin di sini. Belum ingin beranjak, lantaran hujan masih turun. Ya, aku amat malas harus memakai mantel atau jas hujan. Ribet!

Sembari menunggu, akhirnya pak tukang mengajakku bercengkerama. Kami mengobrol hal yang ringan-ringan. Soal musim hujan. Soal macetnya Bukittinggi kala musim liburan. Dan soal personal diriku.

Aku senang. Pak tukang tambal bukanlah orang yang suka menghakimi. Beliau hanya mendengar, dan menimpali seperlunya. Karena memang kami berdua tidak kenal dekat. Kami hanya bersua kala ban motorku bocor. Hahaa.

Hujan semakin reda, meski masih ada rinai. Arlojiku sudah menunjukkan pukul setengah enam. Akhirnya aku pamit kepada pak tukang tambal. Sebelum aku pergi, beliau bertanya, “Bawa mantel?”

“Bawa sih,” jawabku.

“Dipakai aja,” ujarnya lagi.

“Hhmm, males,” jawabku lagi seraya menggeleng.

Pak tukang tambal tak lagi memintaku memakai jas hujan. Akupun pamit padanya dan berlalu. Saat aku berjalan, hujan memang sudah cukup reda. Namun aku salah. Saat sampai di area pacuan kuda, yang berada sekira dua kilometer dari tempat tukang tambal ban, hujan kembali mengganas. Bahkan deras.

Aku yang sedang memakai jaket berbahan kain, langsung kuyup. Aku langsung berhenti dan mengenakan jas hujan. Sembari mengenakan jas hujan, aku mengutuki diriku. Aku memang keras kepala. Padahal sudah dinasihati oleh pak tukang tambal untuk memakai mantel. Namun aku abai. Inilah hasilnya. Aku kehujanan di tengah perjalanan.

Akupun melanjutkan perjalanan ke rumah. Sembari jalan, aku merenung. Kadang, tak ada salahnya untuk mendengarkan masukan dari orang lain. Mungkin, masukan itu adalah nasihat yang amat berguna. Aku agak menyesal. Kenapa perkataan pak tukang tambal tidak kugubris dengan baik.

***

Cerita awal tahunku berlanjut keesokan harinya. Rabu, 3 Januari 2024. Hari itu aku sengaja pulang telat, lantaran mengerjakan SKP PNS untuk triwulan 4 2023. Di meja kerjaku, kuputar musik kesukaanku sembari mengunggah bukti kinerjaku ke aplikasi milik BKN.

Waktu itu menjelang maghrib, tiba-tiba instagramku menerima direct messages (DM). Dari siapa ini? Batinku. Rupanya DM dari salah satu rekan kerjaku di kantor. Dia berbeda ruangan denganku. Kubaca sekilas.

“Hati-hati Mas … ”

Aku sedikit terhenyak dengan kalimatnya ini. Maksudnya? Yang kurasa aku malah merinding. Karena ini sudah hampir maghrib. Refleks aku malah mendongak ke arah luar ruanganku. Di lobi kantorku sudah nyaris gelap. Petugas security kadang tidak menyalakan lampu-lampunya. Aku berdiri dan menghampiri lobi. Kunyalakan lampu. Menyala dengan normal.

Aku menghela napas lega. Aku kembali ke mejaku. Aku masih penasaran. Kenapa dia mengirim kalimat agar aku berhati-hati? Akhirnya kubuka DM-nya. Rupanya dugaanku salah. Ini tidak ada hubungannya dengan hal horor atau semacamnya.

Kalimat yang dikirimkannya itu dilengkapi dengan sebuah reels. Reels itu menunjukkan sebuah berita. Terkait pemilu. Ya, tahun ini adalah tahun politik. Semuanya sungguh sensitif. Apalagi bagiku yang seorang ASN. Yah, (katanya) ASN harus netral dalam menanggapi situasi pemilu ini.

Dalam berita itu ditunjukkan, ada oknum ASN yang menerima sanksi lantaran berlaku tidak netral. Mereka membuat sebuah video yang menunjukkan dukungan kepada seorang kontestan pilpres.

Oh, aku tahu benang merahnya. Rekan kerjaku ini mengirimiku reels tersebut supaya aku berhati-hati. Khususnya dengan konten-kontenku di media sosial. Aku tersenyum kecil. Rupanya, unggahan-unggahanku yang receh di medsos pribadiku ada juga yang memperhatikan. Hahaa.

Baiklah. Sama seperti kala aku mendengar masukan dari pak tukang tambal ban sehari sebelumnya. Sepertinya aku perlu menurunkan kadar egoku. Dan mau mendengarkan nasihat yang coba orang berikan padaku. Wejangan-wejangan ini, barangkali cuma sebatas angin lalu. Namun apabila ternyata wejangan-wejangan itu benar, tentu aku akan merugi jika aku tak mendengarkannya.      


No comments:

Post a Comment