Tuesday 14 July 2009

Quick Count dan Ekonomi Media

Pencontrengan untuk memilih satu dari ketiga pilihan telah usai dilaksanakan. Tetapi bukan berarti gelaran pemilihan presiden berhenti sampai disini. Pasca pilpres, menjadi tugas yang superpenting bagi KPU, untuk segera menghimpun suara yang sudah diberikan oleh rakyat. Kemudian mengumumkan dan menetapkan siapa pemenang dalam pilpres kali ini. Penghitungan suara secara manual telah dimulai. Kita semua berharap, agar tidak terjadi prahara yang menemani penghitungan suara tersebut. Semua berlangsung dengan aman, kondusif, dan tentunya jujur. 

Bisa ditebak, pelaksanaan pilpres kemarin juga dihiasi dengan adanya quick count (QC). Berbagai stasiun televisi berlomba untuk menyiarkan tayangan mengenai pencontrengan, yang dilengkapi dengan sajian tentang proses QC. Media elektronik tersebut bekerjasama dengan beragam lembaga survei. Bahkan, ada sebuah stasiun televisi yang mengklaim bersifat independen dalam menyelenggarakan QC, tanpa “bantuan” dari lembaga survei. 


Adanya QC ini tentunya memberikan manfaat bagi masyarakat. Kita sebagai rakyat tidak perlu menunggu lama untuk mengetahui siapakah yang akan menjadi presiden berikutnya. Meskipun jelas-jelas QC bukanlah hasil akhir dari suatu pemilihan. Sementara hasil resmi tetaplah berasal dari keputusan KPU. 

Namun jika melihat hasil QC di berbagai televisi tersebut, nyaris semuanya menempatkan sang incumbent SBY sebagai pemenang pilpres. Kemenangannya pun mutlak mengungguli dua pasang pesaingnya, berkisar diatas 50 persen. Lebih mantapnya lagi, keunggulan SBY-Boediono berada di lebih dari separo provinsi yang ada di Indonesia. 

SBY pun memberikan pernyataan terkait posisinya yang terletak di puncak semua proses QC ini. Sayangnya, oleh media, pernyataan itu dikonstruksi sebagai pidato kemenangan. Tak pelak, pasangan lain menyerang sang presiden dengan ungkapan bahwa pidato tersebut terlalu dini. Hasil final tetap berada di tangan KPU. 

Tentunya hal ini hampir semua orangpun juga tahu. Bahwa keputusan akhir berada dalam kewenangan KPU. Pernyataan SBY dimaknai sebagai pidato kemenangan yang sesumbar oleh lawan-lawan politiknya. Padahal, jelas-jelas pernyataan SBY itu hanya merupakan bentuk respons terhadap hasil QC yang santer dikabarkan. Cuma sebatas tanggapan, tidak lebih. 

Rupanya, penayangan berbagai pelaksanaan QC ini diperhatikan juga oleh pasangan lain diluar SBY. Tidak tanggung-tanggung, Prabowo yang menjadi teman Megawati dalam pilpres kali ini, ikut menyumbangkan “suara” tepat di hari-H pencontrengan kemarin. Inti dari konferensi persnya adalah, janganlah rakyat percaya begitu saja dengan hasil QC yang ditayangkan oleh beragam media tersebut. Tetaplah menunggu hasil final dari penghitungan manual yang dikomandoi KPU. 

Bagi saya, secara implisit Prabowo juga mempunyai muatan lain dalam pernyataannya tersebut. Dia merasa kecewa dengan semua stasiun televisi yang menyiarkan QC. Dan yang lebih membuatnya geram, adalah upaya media untuk mengkonstruk bahwa pemenang pilpres sudah dapat dipastikan. Siapa lagi kalau bukan SBY-Boediono. Tidak sepenuhnya sikap Prabowo itu salah. Menurut pengamatan, memang media terkesan membentuk seolah-olah proses QC adalah sama dengan penghitungan manual. Hasil dari QC, itulah keputusan dan pilihan dari rakyat banyak. 

Tetapi yang patut disayangkan dari pernyataan Prabowo adalah tentang kebebasan berpendapat yang dipunyai siapapun. Termasuk yang dimiliki oleh media massa. Menurut saya, media juga berperan untuk mengawal proses demokrasi. Salah satunya dengan menayangkan inovasi QC ini. Hasil QC bisa dibandingkan dengan hasil penghitungan manual KPU. Dari situ, dapat diambil kesimpulan. Apakah metode QC dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya, dalam memprediksi pemenang dalam sebuah pemilihan. 

Terlebih, hasil QC tentunya ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Nah, dalam hal ini berimplikasi dengan faktor ekonomi dari media bersangkutan. Dengan menayangkan proses QC, media berharap mampu mengikat khalayak untuk tetap setia di depan layar kaca. Jika media bisa mempertahankan audiens dalam jumlah banyak, pastilah berlanjut ke rating acara yang tinggi. Diteruskan dengan peminat pemasang iklan yang membanjir. 

Apalagi beberapa program yang disajikan stasiun televisi tersebut tidak cuma menyuguhkan proses QC beserta dialog-dialog politik secara formal. Namun dibumbui dengan musik dan humor sebagai hiburan. Mungkin, tayangan QC ini adalah salah satu cara media televisi untuk menjaring penonton yang melimpah. 

Kita tidak bisa menafikan, bahwa media massa juga merupakan badan usaha yang membutuhkan pemasukan. Banyak sekali pegawai yang menggantungkan nafkah dari media. Lantas, bila tidak ada pemasukan untuk media, darimana institusi sosial ini membayar gaji untuk para pekerjanya? 

Jika saya boleh mengatakan, tirulah SBY. Beliau datang mencontreng pukul sebelas siang. Berharap para pekerja media yang meliputnya, bisa mempunyai waktu yang lebih banyak untuk menggunakan hak pilihnya. Setelah memilih, barulah para wartawan dapat melaksanakan tugasnya. Perilaku ini dapat menjadi tauladan. Karena memberikan kesempatan dalam menunaikan hak pilih bagi warganegara yang sah. Salah satu upaya yang unik untuk menanggulangi terjadinya golput. 

Wahai para elit politik. Media massa kadang memang bersikap seperti musuh. Jika kita dapat memperlakukannya dengan baik, media malah bisa menjadi kawan, bahkan sahabat. Ingatlah, popularitasmu juga berasal dari peran media. Media mempublikasikan, maka jadilah ketenaranmu. Kita perlu untuk memahami aspek ekonomi media ini.

No comments:

Post a Comment