Di
usiaku yang sudah 30-an ini, aku sungguh bersyukur kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa. Berbagai anugerah tak henti-hentinya menghampiriku. Di
antaranya kesehatan dan kesempurnaan fisik untuk beraktivitas sehari-hari.
Sebuah rumah sederhana juga telah kumiliki. Dan, sebuah pekerjaan tetap.
Aku
memang perlu untuk bermuhasabah lebih sering. Dengan banyaknya anugerah yang
telah Tuhan berikan, aku acap luput untuk bersyukur. Padahal, apa yang aku
peroleh saat ini adalah dambaan banyak orang lain di luaran sana. Mungkin saja
seperti itu, ‘kan…?
Karena itulah, aku harus lebih sering mengucap alhamdulillah. Tidak hanya sekadar ucapan. Namun, memang sudah selaiknya kita sebagai manusia untuk tidak pernah lupa memanjatkan syukur kepada Tuhan. Bukankah kita adalah salah satu makhluk-Nya?
Berbicara
soal pekerjaan, alhamdulillah saat ini aku berstatus sebagai pegawai negeri
sipil. Saat aku menuliskan kisah ini, sudah hampir empat tahun aku menjadi
pegawai pemerintah. Tunggu, dalam kesempatan ini aku tidak sedang
membangga-banggakan statusku. Semoga kau tidak menganggapku overproud atas titel PNS yang
kuceritakan ini.
Aku
berdinas di sebuah perpustakaan berplat merah di Bukittinggi. Kau tahu
Bukittinggi? Ya…, sebuah kota yang terletak di Sumatera Barat. Sebuah kota yang
identik dengan bangunan Jam Gadang-nya yang terkemuka itu.
Berbicara
lebih spesifik, aku bertugas di bagian Humas. Ya, hubungan masyarakat. Posisi
yang kujalani ini, jujur tidak begitu kejutan bagiku. Karena latar belakang pendidikanku
memang berkaitan dengan posisi pekerjaan ini. Aku adalah lulusan Ilmu
Komunikasi. Jadi sedikit banyak, aku sudah ada basic pengetahuan soal kehumasan.
Dalam
pengalamanku sehari-hari, aku memang dihadapkan dengan situasi yang
mengharuskanku berhubungan dengan banyak manusia lainnya. Apalagi seorang
humas, kadang harus berperan sebagai ‘jembatan’. Jembatan antara kantorku
dengan pihak-pihak eksternal lainnya.
Peranku
sebagai jembatan ini, membuatku harus bertindak smart. Dalam bersikap, aku harus fleksibel dan diperhitungkan
dengan matang. Kadang aku dituntut harus mengetahui segala isu. Baik isu yang
berembus di kalangan internal kantor, maupun isu-isu yang beredar di lingkup
eksternal.
Oh
ya. Ada satu lagi kemampuan yang kadang dituntut dari seorang pelaku humas. Ini
dari sudut pandangku ya. Dia harus pandai berbicara, khususnya di depan umum.
Ya, kemampuan ber-public speaking ini
diperlukan sesuai kebutuhan sih.
Untuk
skill yang terakhir ini,
alhamdulillah…, aku masih terus berusaha untuk mengasahnya. Karena aku percaya,
sebuah kemampuan akan semakin meningkat kualitasnya, kala kita terus berupaya
untuk mengasahnya dan menambah jam terbang terkait skill tersebut.
Sejak
kecil, aku memang terbiasa untuk berani tampil di depan umum. Saat masih di
Taman Kanak-kanak, aku pernah menjadi juara lomba peragaan busana atau fashion show. Yah, lomba ini memang di
lingkup perumahan tempatku tinggal saja. Namun, pengalaman ini amat berarti
bagiku.
Predikat
juara itu adalah sebuah bentuk pengakuan. Pengakuan dari orang lain atas
penampilanku di atas panggung. Bahkan, piagam penghargaannya pun masih kusimpan
sampai sekarang, hahaa.
Menginjak
usia SD, aku pernah mewakili sekolahku untuk mengikuti lomba baca puisi. Meski
aku belum juara, tetapi aku senang. Aku sudah memberanikan diri untuk tampil di
hadapan orang yang lingkupnya lebih banyak dan luas.
Di
bangku SMP dan SMA, aku semakin percaya diri untuk sering tampil di depan
kelas. Sebuah pengalaman di SMA yang takkan pernah kulupakan. Dalam sebuah
tugas berpidato di pelajaran Bahasa Indonesia, aku sampai berlatih di depan
kaca, agar saat giliranku tampil di depan kelas, aku bisa memberikan penampilan
yang sempurna. Alhamdulillah, bagiku pengalaman berpidato di kelas 2 SMA ini,
adalah awal mula diriku pede dalam ber-public
speaking.
Menginjak
bangku kuliah, pengalamanku berbicara di depan umum semakin beragam. Aku pernah
menjadi moderator dalam kegiatan pengenalan mahasiswa baru. Di situ aku harus
tampil di depan ratusan mahasiswa juniorku, dan berinteraksi dengan narasumber
acara, yang notabene adalah salah satu dosenku. Uwwaahhh…, nano-nano deh
rasanya!
Yang
namanya mahasiswa, mengerjakan tugas tentu menjadi santapan sehari-hari. Dan tugas-tugas
itu kerap harus dipresentasikan di depan kelas. Jadi, masa kuliah menjadi salah
satu momen yang menempa diriku untuk selalu siap, kala harus berbicara di depan
umum.
***
Dalam
kehidupanku saat ini, aku terikat dengan dunia pekerjaan secara professional. Aku
memperoleh gaji bulanan secara rutin. Untuk itu, akupun bekerja sesuai porsi
dan jobdesc yang kumiliki.
Secara
singkat, aku sudah memaparkan salah satu tugas Humas di atas. Termasuk,
kemampuan untuk ber-public speaking. Ada
kalanya, aku tiba-tiba ditunjuk untuk membawakan suatu acara. Singkatnya, aku
diminta untuk menjadi MC alias Master of
Ceremony.
Tugas
menjadi MC ini kadang spontan. Padahal bagiku, menjadi MC itu pekerjaan
gampang-gampang sulit. Tatkala mood
sedang tidak bagus, maka akan berpengaruh dalam pembawaanku saat berbicara di
depan umum. Untuk itu, aku akan berupaya mengakomodir diriku, kala harus ‘tampil’
di depan khalayak.
Tidak
jauh berbeda dengan masa kuliahku. Saat ini, dalam pekerjaan sehari-hariku, aku
tak jarang diminta untuk menjadi MC dalam berbagai kegiatan. Hal ini membuatku
harus pede untuk tampil di beragam audiens. Tak apa, karena ini memang
pekerjaanku.
Seperti
pengalamanku pada November 2022 barusan. Instansi tempatku bekerja mengadakan
kegiatan workshop yang ditujukan untuk masyarakat umum. Workshop ini ada dua,
yakni redesain kemasan produk inovatif dan foto produk sebagai media peningkatan
nilai jual.
Dan
alhamdulillah…, di dua workshop ini aku diamanahi untuk menjadi pembawa
acaranya alias MC. Tentu menjadi tantangan tersendiri buatku. Karena masing-masing
workshop dilaksanakan selama tiga hari. Setiap harinya, dimulai dari pagi
hingga sore. Fiuuhh, bisa kau bayangkan, betapa capeknya menjadi MC di dua
workshop tersebut.
Namun
aku berusaha menikmatinya. Aku percaya, kegiatan semacam ini menjadi kesempatan
bagiku untuk menambah jam terbang. Menjadi salah satu momen yang dapat menempa
mentalku. Khususnya kala harus tampil di depan khalayak banyak.
Dalam
membawakan suatu acara, aku punya pakem. Bahwa kesempatan ini menjadi momen
bagiku untuk ‘menjual diri’. Untuk itu, aku tak segan-segan untuk
memperkenalkan diriku dengan jelas. Aku tak pernah luput untuk terus
mengingatkan kepada audiens di hadapanku, bahwa MC yang ada di depannya ini
adalah Mas Jojo.
Begitu
terus kuulang-ulang sepanjang jalannya acara. Karena aku yakin, hal ini dapat
menjadi cara untuk membangun ikatan dengan penonton. Tatkala penonton sudah
hapal dan paham bahwa MC yang ada di depannya adalah Mas Jojo, maka bagiku ini
menjadi penanda bahwa caraku telah berhasil! Berhasil untuk membangun bonding dengan audiens.
Alhamdulillah,
aku perlu mengabadikan sebuah pengalaman yang baru saja kudapati. Hari Sabtu,
10 Desember 2022. Kala itu aku memperoleh jadwal untuk bertugas di mobil
perpustakaan keliling (puskel). Puskel ini diadakan di Lapangan Kantin, sebuah lapangan
umum yang biasa digunakan warga Bukittinggi untuk berolahraga.
Pada
akhir pekan, Lapangan Kantin selalu dipenuhi oleh penjual makanan yang
menjajakan dagangannya kepada warga yang lalu lalang di situ. Mereka didominasi
penjual makanan. Sisanya, menjual aneka barang lainnya seperti pakaian, barang
kebutuhan rumah tangga, dan menyediakan wahana permainan untuk anak-anak.
Donat pemberian peserta workshop. Pic: dokpri |
Pagi
itu aku sedang duduk santai dan menjaga mobil puskel. Aku setengah melamun kala
mengamati anak-anak yang sedang membaca-baca buku di lapakku tersebut. Tiba-tiba,
seorang wanita paruh baya menghampiriku.
“Mas
Jojo, ya?” sapa ibu itu seraya mendekat kepadaku.
Aku
tergeragap dan berusaha mengumpulkan nyawaku yang sebagian masih terbang entah
kemana.
“Oh
iya ibu,” kujawab dengan ramah sapaannya.
Ibu
itu kemudian tersenyum melihatku dan menampakkan wajah yang cerah saat memastikan
bahwa dirinya tidak salah menyapa orang. Rupanya, beliau adalah salah satu
peserta workshop foto produk, yang telah diadakan pada November lalu.
“Ini
buat Mas Jojo,” ibu itu menyodorkan sebuah kotak kepadaku.
“Saya
jualan donat, itu di seberang,” ujarnya lagi seraya menunjuk sebuah lapak makanan
yang tidak jauh dari mobil puskel.
Kala
mendengarnya, aku girang bukan main.
“Ooh,
terima kasih,” jawabku seraya menerima kotak pemberiannya.
Ibu
itu berlalu dari mobil puskel dan kembali ke lapaknya. Sementara aku, aku
kemudian termangu. Aku merasa di momen itu, Tuhan sedang berbicara padaku. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?
Alhamdulillah.
Inilah yang kumaksud dengan berkah nge-MC. Cara-cara yang kulakukan kemarin
untuk membangun ikatan dengan penontonku, rupanya berhasil. Setidaknya, seorang
peserta workshop menyapaku. Dan tak lupa, memberiku sebuah kenang-kenangan.
Tatkala
sampai di rumah, kubuka pemberian ibu di Lapangan Kantin tadi. Kotak tersebut
berisi enam biji donat. Alhamdulillah. Berkah. Aku tersenyum lebar. Sebuah kebahagiaan
menyesap halus dalam jiwaku.
No comments:
Post a Comment