Saturday, 30 August 2025

Caraku Mengurangi Rasa Kangen Kepada Ibuk

Dua pekan yang lalu, seratus hari sudah, Ibuku berpulang. Kau tahu, kadang aku masih suka diam sejenak. Menerawang, dan bertanya dalam hati. Benarkah ibuk telah tiada? Ya, sepertinya memang benar.

Kutengok ponselku. Kubuka whatsapp. Aku memasang nomer Ibuk sebagai salah satu kontak yang ku-pin. Dan, chat Ibuk tak pernah bergerak lagi. Buk, aku kangen. Saat Ibuk masih ada, beliau adalah orang yang paling getol menghampiri whatsapp-ku. Bertanya sudah sarapankah? Siang makan apa? Sudah pulang kantorkah? Malam lauk apa? Hujan di Bukittinggi?

Aku harus mulai membiasakan diri. Bahwa chat-chat itu takkan pernah ada lagi. Nomer whatsapp Ibuk masih tetap ku-pin. Kadang jika ada orang yang menyakitiku, kubuka chat Ibuk. Kubaca-baca kalimat-kalimat sederhana dari beliau, yang bisa menguatkanku. Ahh Ibuk, aku kangen.

Barangkali, hobiku yang suka traveling ke sana kemari, secara tak sengaja ditularkan oleh Ibuk. Dalam keluargaku, Ibuk adalah orang pertama yang bisa berkesempatan menaiki pesawat. Ibuk adalah yang pertama bisa main ke Bali. Ibuk juga, orang pertama yang bisa pergi ke luar negeri dan umroh. Ya, melihat pengalaman Ibuk yang bisa ke sana kemari, akhirnya membuatku ingin seperti dirinya.

Kalau tidak salah, Singapura adalah negeri jiran pertama yang dikunjungi Ibuk. Seingatku, Ibuk menjangkau Singapura melalui Batam. Aku masih ingat. Ibuk sungguh antusias kala bercerita soal pengalamannya menyeberangi Selat Singapura menggunakan kapal ferry. Kala mendengar cerita Ibuk ini, aku cuma bisa membayangkan. Benarkah ke Singapura semenegangkan itu?

Akhirnya, aku mencoba membuktikan cerita Ibuk tersebut. Awal 2025, aku memberanikan diri membuat paspor. Mengingat aku masih berdomisili di Sumatera Barat, aku memanfaatkan kantor imigrasi Agam untuk membuat paspor. Kupilih paspor elektronik berdurasi lima tahun.

Pada Ramadan 2025, pasporku tersebut telah rampung. Namun aku masih belum punya keberanian untuk menggunakannya. Bagiku, pergi ke luar negeri bukan perkara sepele. Terdapat kendala bahasa dan budaya, yang mungkin bisa sewaktu-waktu kutemui kala melancong ke luar negeri.

Pada awal Mei 2025, aku sempat pulang sejenak ke Malang. Menjenguk Ibuk, yang ternyata itu adalah momen pertemuan terakhirku dengan beliau. Aku lega. Karena di pertemuan terakhir itu, aku sempat menunjukkan pasporku kepada Ibuk. Tatkala Ibuk melihat dan memegang pasporku, ada senyuman yang mengulas tipis di bibir keringnya. Hikkss, aku kangen, Buk.

Ibuk telah tiada. Hhmm, seperti ini ya rasanya? Hidup tanpa seorang ibu. Ya, aku masih mempunyai Bapak. Namun, kehilangan seorang ibu itu lain cerita. Seorang teman dari almamater Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya, memberiku ucapan belasungkawa melalui direct message Instagram.

“Mas, ndak mudah ditinggal ibu. Semisal Mas butuh temen buat crita atau apa, dm ku selalu terbuka lebar.”

Aku ucapkan terima kasih. Matur nuwun, untuk seluruh teman-teman yang telah menguatkanku di momen kehilangan Ibuk kemarin. Ya, memang nggak gampang. Hidup tanpa seorang ibu itu nggak mudah. Namun, bukankah aku harus terus melangkah? Yes, show must go on.

 

Pergi ke Singapura, Caraku Mengurangi Rasa Kangen kepada Ibuk

Aku tak perlu malu untuk mengakui. Bahwa aku masih amat berduka. Aku masih amat kehilangan Ibuk. Setiap hari, aku selalu menguatkan diri. Bahwa aku harus melanjutkan hidup. Ibuk memang sudah nggak ada. Tetapi energinya selalu kujaga.

Kubuka lemari bajuku. Kubuka laci, dan kutemukan paspor yang masih baru. Belum pernah digunakan. Baiklah. Tak ada salahnya aku ke Singapura. Senyampang aku masih hidup di Sumatera. Singapura sungguh dekat. Kuniatkan diri terbang ke Singapura. Tak sekadar mencoba ke luar negeri. Namun, untuk napak tilas. Menapaktilasi perjalanan Ibuk yang pernah diceritakannya kepadaku, belasan tahun yang lalu.

Patung Merlion, ikon utama Singapura. Pic source: dok. pribadi

Aku menggapai Singapura melalui Batam. Lewat Pelabuhan Batam Center, aku menyeberang ke Singapura untuk pertama kalinya pada 28 Juni 2025. Kunikmati perjalanan singkat selama sejam tersebut. Merasakan ombak-ombak yang menggelung ferry yang kutumpangi. Seperti ini ya Buk? Naik ferry ke Singapura.

Buk, sekarang aku cuma bisa bercerita dengan Bapak. Soal keseruan pergi ke luar negeri. Bagaimana degdegannya kala diperiksa petugas imigrasi, hahaa. Namun, aku yakin. Kau pasti tersenyum simpul di sana. Seorang Jojo yang penakut, cengeng, anak bungsu yang manja, sekarang sudah bisa ke luar negeri. Seorang diri.

Supertree Grove, Gardens By The Bay, Singapura. Pic source: dok. pribadi

Globe Universal Studios, Pulau Sentosa, Singapura. Pic source: dok. pribadi

No comments:

Post a Comment