Sunday 26 September 2010

Sepenggal Kisah Cempaka Lestari



Kasih ibu, kepada beta. Tak terhingga, sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya, menyinari dunia.

Mungkin, kita semua hafal dengan lagu “Kasih Ibu” tersebut. Melalui lagu ini, kita diingatkan tentang sosok ibu. Haahh... ibu. Mama. Bunda. Emak. Mbok. Ummi. Seperti foto yang terpampang diatas. Itu salah satu fotoku bersama ibu. Dari foto ini, aku kembali terngiang dengan satu kenangan bersama ibu.

Kira-kira, foto ini diambil saat aku masih kelas satu SD. Bisa kalian amati. Tinggi badanku masih setengah lebih sedikit, dari tinggi ibu. Sekarang, badanku lebih tinggi darinya. Bersyukur... ini karena bapak dan ibu merawatku amat optimal. Sehingga asupan gizi tak pernah terlewat dari tumbuh kembangku.


Sayang... aku yang mungkin kurang memahami akan limpahan kasih sayang dari mereka. Jadilah aku sering rewel, terutama soal makanan. Yang paling mudah tentu saja sayur. Aku sering menolak sayur yang sudah capek-capek ibu hidangkan. Padahal, sayur sangat penting untuk kesehatan tubuh.

Anyway... terkait sayur barusan, itu hanyalah cuplikan serba-serbi hidupku bersama bapak dan ibu. Kali ini aku ingin membagi suatu cerita. Sebuah cerita tentang hubungan antara ibu dan anaknya. Cerita ini tak ada kaitannya, baik denganku maupun ibuku.

Tetapi yang pasti, aku memperoleh cerita nyata ini dari penuturan ibuku. Ya. Ibuku sendiri yang bercerita tentang kisah ini padaku. Kemudian, aku pun tahu, siapa sebenarnya pemilik dari cerita ini.

***

Seorang perempuan, sebut saja bernama Cempaka. Yang kutahu, Cempaka berumur sekitar 35 tahun. Ia belum menikah. Atau mungkin... ia tidak akan pernah merasakan apa itu perkawinan.

Sehari-hari, Cempaka hidup di rumah seorang perawat, yang bekerja di rumah sakit jiwa (RSJ) di Lawang, Malang. Asal kau tahu, Cempaka pernah mengalami suatu masalah, hingga membuatnya harus menerima perawatan di RSJ tersebut.

Lambat laun, kondisi Cempaka membaik. Sempat ia kembali ke tengah-tengah keluarganya yang tinggal di Blitar. Namun apa mau dikata, penyakit jiwa yang dideritanya ternyata kambuhan. Ada trauma di masa lalu yang membuat jiwanya selalu berguncang. Jika ada suatu keadaan yang memungkinkan dirinya mengingat trauma itu, maka Cempaka dapat berteriak-teriak tak karuan. Bahkan memecahkan kaca-kaca. Itu yang kudengar dari ibuku.

Mungkin... perlu bagiku untuk menceritakan secara garis besar, apa trauma yang dialami Cempaka. Di waktu muda, Cempaka sempat mengenyam kuliah di Malang. Dari kisah yang kudengar, perangai Cempaka memang kurang baik kala itu.

Cempaka terkesan kurang serius dalam berkuliah. Seolah hanya bisa menghambur-hamburkan uang kiriman dari orangtuanya. Satu yang menarik perhatianku. Kabarnya, Cempaka pernah merayakan ulangtahunnya dengan membeli kue tart bertingkat tiga. Tak lupa mengundang teman-temannya. Padahal uang itu harusnya untuk membayar SPP kuliah. Bisa kau bayangkan, seberapa mahal kue tart itu, sampai bisa menghabiskan uang SPP pada masa 1980-an.

Cerita pun berlanjut. Saat itu bapak Cempaka masih hidup. Beliau adalah seorang guru SD. Ketika Cempaka akan mengakhiri masa kuliahnya, tiba-tiba bapaknya meminta agar ia menjadi guru saja. Mungkin kita bisa paham. Saat itu lazim terjadi, seorang pegawai negeri yang dapat menitipkan anak dan handai taulannya, agar memperoleh status pegawai negeri pula.

Awalnya Cempaka mau menerima perintah bapaknya tersebut. Tapi ada satu syarat. Cempaka dibolehkan kembali ke Malang sejenak, untuk berpamitan dengan kawan-kawannya. Nasib berkata lain. Saat pamit, Cempaka dipengaruhi teman-temannya agar menolak perintah menjadi guru tersebut. Menurut teman Cempaka, sayang kuliah yang tinggal sedikit tidak dirampungkan.

Dasar bengal si Cempaka. Dia menuruti seruan kawan-kawannya. Ia kembali ke Blitar dan menolak mentah-mentah perintah bapaknya untuk menjadi guru. Masalah tidak cuma datang terkait kuliah. Tetapi juga urusan cinta Cempaka.

Cempaka memergoki pacarnya selingkuh dengan perempuan lain...

Mungkin inilah yang menerbitkan trauma yang mendalam bagi Cempaka. Cempaka pun linglung. Menurut cerita ibuku, Cempaka sangat menyayangi pacarnya tersebut, yang konon mirip Rano Karno.... (wkwkwkwkwkwkwk)

Untuk melupakan sakit hatinya, Cempaka pergi dari Malang. Ia tidak kembali ke Blitar, kampung halamannya. Tetapi lebih memilih ke luar pulau Jawa, tepatnya ke Riau. Cempaka meninggalkan seluruh kuliahnya dan mencoba mengadu nasib sebagai buruh di salah satu perkebunan sawit disana.

Malang tak dapat ditolak. Untung tak dapat diraih. Meski beberapa tahun bertualang di Riau, tapi tak membuat Cempaka melupakan traumanya. Dia kembali ke Jawa. Kembali ke rumah bapak ibunya di Blitar. Ahh... kembalinya Cempaka bukan kegembiraan bagi keluarganya. Malah menjelma menjadi duri dalam daging, yang konon menjadi penyebab bapaknya berpulang beberapa tahun kemudian.

Cempaka menjadi stres. Linglung. Tak waras. Keluarga membawanya berobat sampai ke RSJ Lawang, Malang. Sekian kali Cempaka harus dirawat di rumah sakit itu. Kasus terakhir terjadi tahun 2003 lalu. Yang akhirnya membawanya tinggal di rumah salah satu perawat RSJ, hingga kini.

***

Kasih ibu sepanjang masa. Kasih anak sepanjang galah.

Ungkapan ini sangat jamak kita pahami, sebagai simbol penggambaran kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Bagaimanapun keadaan anak, ibu akan selalu mencurahkan cinta dan perhatiannya kepada anak-anaknya.

Padahal, seringkali anak yang menjadi tumpahan kasih sayang tersebut, menampik itu semua. Mereka terlampau sibuk dengan urusannya. Sehingga sekadar untuk menengok ibunya yang sudah renta pun, segan dilakukannya.

Sesempurnanya seorang ibu, toh... beliau cuma manusia biasa. Makhluk yang bisa berbuat salah. Berikut ini masih berhubungan dengan si perempuan setengah baya, Cempaka. Idul Fitri yang baru kita rayakan, tak pelak menjadi momen tepat untuk berbagi cinta dengan segenap orang yang kita sayangi.

Sama halnya dengan Cempaka. Lebaran seolah selalu dinanti-nantikannya. Karena di saat Lebaranlah, ia bisa pulang ke Blitar. Meninggalkan sejenak hidupnya di Lawang, dan menjenguk ibunya yang sudah sepuh.

Entah bagaimana aku menceritakannya. Ibu dari Cempaka, sebut saja Ibu Lestari. Menurut penuturan ibuku, Ibu Lestari memang sesosok perempuan yang keras. Usianya sudah lebih dari 70. Beliau seorang pensiunan guru. Di masa mudanya, Ibu Lestari konon sempat menjadi petugas palang merah pada zaman kemerdekaan.

Sayangnya... Ibu Lestari tak lagi sepenuh hati dalam menghadapi Cempaka, anak kandungnya. Hal ini kumaklumi. Seharusnya Ibu Lestari tinggal menikmati masa tuanya. Terbebas dari gangguan yang mungkin dapat membebani pikirannya. Bukannya malah sibuk “menyuapi” anaknya yang kebetulan terganggu jiwanya.

Sikap Ibu Lestari sangat beralasan. Ketika pulang dari Riau dulu, Cempaka sering bertindak onar di rumah. Bila sedang kumat, Cempaka akan mengomel-ngomel tak karuan. Bicara sendiri sambil teriak-teriak. Malah pernah memecahi piring dan kaca jendela.

Inilah yang membuat Ibu Lestari enggan menerima kembali keberadaan Cempaka di rumahnya. Beliau takut, dirinya yang sudah tua, seorang diri, bisa berada satu rumah dengan Cempaka yang notabene kurang waras.

Para saudara Cempaka telah berkeluarga dan selalu mencari cara, bagaimana agar Cempaka tidak membebani ibunya. Akhirnya pada 2003, Cempaka diantar menuju RSJ Lawang, Malang. Meninggalkan ibu dan rumahnya di Blitar. Kemudian Cempaka tinggal di rumah salah satu perawat RSJ, yang kebetulan dekat dengan rumah sakit.

Kalau Tuhan berkehendak, pasti semuanya akan terjadi. Kondisi Cempaka perlahan membaik. Hal ini membuatnya memutuskan pulang sekitar pertengahan 2008. Saking rindunya Cempaka dengan ibunya, ia memilih tidak berpamitan dengan perawat RSJ yang menaunginya. Cempaka takut tidak diberi izin untuk pulang ke Blitar.

Namun... bukan sambutan hangat yang diterimanya. Jangankan pelukan sayang, yang ada malah sorot mata ketakutan, yang diperlihatkan Ibu Lestari, tatkala melihat Cempaka bisa pulang seorang diri ke rumah. Ketenangan yang diraih Ibu Lestari sejak “perginya” Cempaka seakan runtuh.

Tak pelak, Ibu Lestari waswas tak karuan. Ia menghubungi kelima anaknya yang lain. Termasuk juga perawat RSJ yang selama ini memberi tumpangan kepada Cempaka. Kenapa Cempaka bisa pulang...??? Kenapa si perawat RSJ bisa kecolongan???

Sang perawat pun akhirnya berusaha menjemput Cempaka, agar ia mau pulang ke Lawang, Malang. Cempaka pun mau. Sejak saat itu, setiap ada libur panjang, Cempaka selalu pulang ke Blitar. Menjejakkan kaki di rumah tempatnya tumbuh. Dan tak lupa, melepas rindu pada Ibu Lestari, ibu kandungnya.

Seperti Lebaran barusan, Cempaka juga mudik ke Blitar. Ibu Lestari berusaha menerima keberadaan Cempaka, walau tidak sepenuh hati. Namun itu tak berlangsung lama. Jika dirasa sudah cukup, Ibu Lestari akan berusaha “mengusir” Cempaka agar kembali ke Lawang. Beliau tak ingin kejadian di masa lalu, terulang kembali. Ibu Lestari hanya mau hidup tenang. Tanpa direcoki Cempaka.

***

Inilah sebuah cerita. Sepenggal kisah tentang Ibu Lestari dan Cempaka. Sebuah kisah nyata antara seorang ibu dan anaknya. Satu yang kupetik dari realita ini. Hidup cuma sekali. Alangkah bijaknya bila kita mengisinya dengan hal-hal yang berguna. Salah satunya adalah berusaha menyenangkan orang-orang terdekat, terutama orangtua. Bukan apa-apa. Karena surga berada di bawah telapak kaki ibu.
(johar dwiaji putra)

No comments:

Post a Comment