Saturday, 27 September 2025

Mengunjungi Kota Palembang dan Pagoda Pulau Kemaro

Sejak hijrah ke Pulau Sumatera pada awal 2019 untuk bekerja, salah satu yang membuatku bersemangat adalah kesempatan mengeksplorasi segala hal yang terdapat di pulau terluas keenam di dunia tersebut. Pada liburan akhir tahun 2024 lalu, giliran Palembang yang kusambangi. Ya, ibu kota Provinsi Sumatera Selatan ini memang sudah lama mengisi bucket list tempat yang ingin kukunjungi.

Aku memulai perjalananku pada 26 Desember. Dari Bukittinggi di Sumatera Barat, aku menumpang sebuah bus yang akan membawaku ke Palembang. Bus yang kupilih adalah PO. Epa Star. Bus ini start dari Bukittinggi tepat pukul 09.30 wib.

Aku bersorak dalam hati, kala bus mulai berjalan meninggalkan Bukittinggi. Jujur, perjalanan ke Palembang kali ini adalah pengalaman pertamaku mencoba bus lintas Sumatera, dengan jarak yang cukup jauh. Sebelumnya, aku sudah mencoba perjalanan darat dari Bukittinggi ke Pekanbaru, Riau. Jika dibandingkan dengan trip ke Palembang kali ini, jarak yang kutempuh tentu lebih jauh.

Perjalanan terus berlanjut dan bus melesat masuk ke wilayah Sumatera Selatan. Pada 27 Desember sekira jam 07.30 wib, bus Epa Star telah tiba di pool Palembang. Pool-nya terletak persis di seberang asrama haji Palembang.

 

Menjelajahi Kota Palembang

27 Desember, hari itu adalah hari Jumat terakhir di tahun 2024. Aku berkesempatan sholat Jumat di Masjid Sultan Mahmud Badaruddin. Sebuah masjid bersejarah yang terletak di pusat kota. Dari Masjid Sultan Mahmud Badaruddin, aku berjalan menuju monumen paling masyhur di Palembang: Jembatan Ampera.

Jembatan Ampera. Pic source: dok. pribadi

Alhamdulillah, aku telah sampai di Jembatan Ampera! Sebuah jembatan yang menjadi ikon Palembang dan melintas di atas Sungai Musi. Atas panduan seorang temanku yang asli orang Palembang, aku mendatangi Pasar 16 Ilir. Pasar ini masih di sekitaran Jembatan Ampera. Salah satu yang menarik dari Pasar 16 Ilir adalah banyaknya pedagang yang menjajakan pempek dengan harga yang ekonomis.

Hari berikutnya, aku menyambangi Benteng Kuto Besak. Benteng ini berada persis di tepi Sungai Musi. Tak jauh dari Benteng Kuto Besak, terdapat Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Museum ini memuat berbagai informasi terkait sejarah perjalanan Kota Palembang dan Sumatera Selatan. Mulai dari masa Kerajaan Sriwijaya, hingga masa Kesultanan Palembang Darussalam.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Pic source: dok. pribadi


Sungai Musi dan Pulau Kemaro

Kembali atas panduan temanku, aku disarankan menyambangi Pulau Kemaro. Pulau Kemaro adalah sebuah pulau kecil yang berada di tengah-tengah Sungai Musi. Menurut temanku, terdapat sebuah bangunan unik yang berdiri di pulau ini. Bangunan itu adalah sebuah pagoda. Pagoda?

Mumpung masih di Palembang, aku ingin segera menuntaskan rasa penasaranku. Khususnya terhadap pagoda yang terdapat di Pulau Kemaro. Pada Senin, 30 Desember, aku berencana untuk mengunjungi Pulau Kemaro. Namun sayang, hari itu dimulai dengan hujan.

Kutunggu hujan yang turun cukup deras tersebut. Palembang yang bersuhu panas, sontak agak mendingan saat hujan mengguyur kota pempek tersebut. Seusai Zuhur dan hujan sudah benar-benar berhenti, kulanjutkan plan-ku untuk bergerak menuju Pulau Kemaro.

Saat aku bertandang ke Benteng Kuto Besak, sebenarnya aku bisa menuju Pulau Kemaro dari situ. Di Benteng Kuto Besak terdapat dermaga dan ada banyak kapal yang menawarkan jasa transportasi ke Pulau Kemaro.

Namun, temanku menyarankanku untuk menggapai Pulau Kemaro melalui dermaga yang terdapat di dekat kantor Pupuk Sriwijaya. Setelah kuamati dari google maps, Pulau Kemaro memang lebih dekat dari dermaga tersebut. Akupun segera melesat ke dermaga yang dimaksud.

Dermaga wisata Pulau Kemaro. Pic source: dok. pribadi

Dari gapura yang terpampang, ini adalah dermaga wisata Pulau Kemaro. Beralamat di Jalan Dr. Ir. Sutami, RT 13/RW 4, Kelurahan Sungai Selayur, Kota Palembang. Ya, jika dibandingkan dengan dermaga yang terdapat di Benteng Kuto Besak, dermaga ini relatif kecil dan tentu saja lebih sepi. Namun begitu, aku mendapati beberapa perahu yang stand by.

 

Menawar Tarif Perahu Getek

Dari dermaga wisata ini, aku sudah bisa melihat keberadaan Pulau Kemaro di seberang. Termasuk ujung dari pagoda yang sudah nampak di antara rerimbunan pepohonan. Pupuk Sriwijaya juga terlihat gagah, dan tidak jauh dari dermaga tempatku berdiri.

Setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling, seorang pemuda mendekatiku. Dia menawariku jasa perahu dengan sopan.

“Berapa?” tanyaku singkat.

“Sekali jalan 100 pak,” jawabnya.

Mendengar tarif yang diajukannya, aku terhenyak. Seratus ribu sekali jalan? Waoow, bagiku mahal, hahaa. Aku tak langsung mengiyakannya. Aku tak tahu, apakah tarif segitu memang pasarannya atau memang dimahalin. Jika 100 ribu sekali jalan, maka pulang-pergi 200 ribu. Kucoba untuk menawarnya.

“150 pp ya?” lanjutku.

“Ya pak, silakan,” jawab abangnya singkat.

Alhamdulillah, lumayanlah. Si abang perahu segera menyiapkan perahunya. Jujur, sepanjang hidupku bisa dihitung jari, berapa kali aku menaiki transportasi air. Dan kali ini, aku menyebutnya perahu getek. Perahu kayu dengan mesin di belakangnya.

Dari ujung dermaga, aku menggapai perahu dengan kadar kehati-hatian yang luar biasa. Baru saja aku menjejakkan kaki di atas perahu, perahunya sudah bergoyang-goyang. Aku terus berdoa dalam hati. Huaahh.

Si abang segera menyalakan mesin, dan bunyi berisik mesin perahu segera mendominasi telingaku. Perahu getek mulai berjalan. Aku ngeri sekaligus gembira. Aku tak sempat membuka-buka ponsel untuk sekadar mengabadikan momen. Aku cuma berharap semoga penyeberangan ini berjalan dengan lancar. Namun aku masih sempat mengedarkan pandangan ke sekeliling. Melihat riak Sungai Musi yang sedang kulewati, dan Pupuk Sriwijaya di seberang sana.

 

Pagoda Pulau Kemaro

Aku bersyukur, perahu getek yang kunaiki merapat ke dermaga Pulau Kemaro dengan smooth. Si abang segera mengikatkan tali perahu ke tiang dermaga. Hap, aku melompat ke atas dermaga Pulau Kemaro dengan antusias. Tak kusangka, sampai juga aku di Pulau Kemaro. Angin semilir menyambutku kala pertama menapakkan kaki di pulau ini. Aku sempat berswafoto dengan latar Pupuk Sriwijaya.

Dermaga Pulau Kemaro langsung menyambung dengan bangunan berpagar tembok, yang didominasi warna merah dan kuning. Rupanya, aku langsung memasuki kompleks tempat ibadah Tridharma Hok Ceng Bio. Ya, terdapat klenteng bernama Hok Ceng Bio yang berdiri di tengah-tengah Pulau Kemaro.

Gapura masuk Klenteng Hok Ceng Bio. Pic source: dok. pribadi

Memasuki kompleks Hok Ceng Bio, pengunjung tidak dipungut biaya. Aku sungguh terpana, ada sebuah tempat ibadah yang berdiri di sebuah pulau kecil seperti ini. Di pelataran klenteng, aku menemukan sebuah batu prasasti yang dibuat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Palembang. Prasasti ini memaparkan seputar legenda yang melingkupi Pulau Kemaro.

Berdasarkan legenda tersebut, Pulau Kemaro dianggap sebagai tempat yang keramat. Untuk itu, aku berusaha menjaga sikap tatkala berkunjung ke sini. Ya, sebagai wisatawan dan pendatang, sudah seyogianya kita menjaga sikap dan menjunjung tata krama ketika mampir ke sebuah tempat. Apalagi tempat-tempat yang dianggap sakral.

Batu prasasti Pulau Kemaro. Pic source: dok. pribadi

Klenteng Hok Ceng Bio terlihat sepi. Bangunan utamanya digembok. Kala itu barangkali memang tidak ada kegiatan peribadatan yang sedang berlangsung. Saat aku ke sini, ada sejumlah pengunjung lainnya yang juga mampir ke Pulau Kemaro dan Klenteng Hok Ceng Bio.

Aku berjalan meninggalkan bangunan utama klenteng. Kucari bangunan ikonik yang memang kutuju. Nah, ketemu. Tak jauh dari bangunan Klenteng Hok Ceng Bio, telah berdiri sebuah pagoda. Pagoda yang bentuknya identik seperti pagoda-pagoda yang kerap kulihat di serial Cina atau Taiwan.

Ini dia. Tak sabar, aku langsung mengambil ponsel dan mengabadikan pagoda ini beberapa kali. Tentunya juga berswafoto dengan latar pagoda. Sebagai bukti otentik, bahwa aku telah mengunjungi Pulau Kemaro dan pagoda Klenteng Hok Ceng Bio.

Berswafoto dengan latar pagoda Pulau Kemaro. Pic source: dok. pribadi

Pagoda ini terdiri dari sembilan tingkat. Di tangga pagoda, terdapat ornamen naga. Amat khas Tiongkok. Sejenak aku terpaku. Mengagumi keindahan pagoda ini. Ya, sungguh menawan. Terdapat sebuah pagoda yang berdiri di sebuah pulau, di mana pulau ini berada di tengah-tengah sebuah sungai.

Bagiku, pagoda Hok Ceng Bio bisa menjadi keberkahan tersendiri bagi masyarakat sekitar. Buktinya, warga bisa mengais rupiah dari usaha penyewaan perahu untuk menyeberang ke Pulau Kemaro. Sekarang bagaimana pemerintah Kota Palembang dan Sumatera Selatan, memaksimalkan potensi Pulau Kemaro dan pagoda Hok Ceng Bio untuk menggenjot sektor pariwisata.

Aku puas. Sejumlah ikon Palembang khususnya pagoda Pulau Kemaro, telah kukunjungi. Aku berjalan kembali menuju dermaga untuk pulang. Sebelum kembali ke perahu getek, aku mampir ke sebuah lapak yang menjual souvenir. Aku membeli magnet kulkas dan gantungan kunci. Lumayan, buat kenang-kenangan.

Pagoda Pulau Kemaro. Pic source: dok. pribadi

*Artikel ini sudah tayang di telusuri.id

No comments:

Post a Comment