Sejak
hijrah ke Pulau Sumatera pada awal 2019 untuk bekerja, salah satu yang membuatku
bersemangat adalah kesempatan mengeksplorasi segala hal yang terdapat di pulau
terluas keenam di dunia tersebut. Pada liburan akhir tahun 2024 lalu, giliran
Palembang yang kusambangi. Ya, ibu kota Provinsi Sumatera Selatan ini memang
sudah lama mengisi bucket list tempat yang ingin kukunjungi.
Aku
memulai perjalananku pada 26 Desember. Dari Bukittinggi di Sumatera Barat, aku
menumpang sebuah bus yang akan membawaku ke Palembang. Bus yang kupilih adalah
PO. Epa Star. Bus ini start dari Bukittinggi tepat pukul 09.30 wib.
Aku bersorak dalam hati, kala bus mulai berjalan meninggalkan Bukittinggi. Jujur, perjalanan ke Palembang kali ini adalah pengalaman pertamaku mencoba bus lintas Sumatera, dengan jarak yang cukup jauh. Sebelumnya, aku sudah mencoba perjalanan darat dari Bukittinggi ke Pekanbaru, Riau. Jika dibandingkan dengan trip ke Palembang kali ini, jarak yang kutempuh tentu lebih jauh.
Perjalanan
terus berlanjut dan bus melesat masuk ke wilayah Sumatera Selatan. Pada 27
Desember sekira jam 07.30 wib, bus Epa Star telah tiba di pool Palembang.
Pool-nya terletak persis di seberang asrama haji Palembang.
Menjelajahi
Kota Palembang
27
Desember, hari itu adalah hari Jumat terakhir di tahun 2024. Aku berkesempatan
sholat Jumat di Masjid Sultan Mahmud Badaruddin. Sebuah masjid bersejarah yang
terletak di pusat kota. Dari Masjid Sultan Mahmud Badaruddin, aku berjalan
menuju monumen paling masyhur di Palembang: Jembatan Ampera.
![]() |
Jembatan Ampera. Pic source: dok. pribadi |
Alhamdulillah,
aku telah sampai di Jembatan Ampera! Sebuah jembatan yang menjadi ikon
Palembang dan melintas di atas Sungai Musi. Atas panduan seorang temanku yang
asli orang Palembang, aku mendatangi Pasar 16 Ilir. Pasar ini masih di sekitaran
Jembatan Ampera. Salah satu yang menarik dari Pasar 16 Ilir adalah banyaknya
pedagang yang menjajakan pempek dengan harga yang ekonomis.
Hari
berikutnya, aku menyambangi Benteng Kuto Besak. Benteng ini berada persis di
tepi Sungai Musi. Tak jauh dari Benteng Kuto Besak, terdapat Museum Sultan
Mahmud Badaruddin II. Museum ini memuat berbagai informasi terkait sejarah
perjalanan Kota Palembang dan Sumatera Selatan. Mulai dari masa Kerajaan
Sriwijaya, hingga masa Kesultanan Palembang Darussalam.
![]() |
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Pic source: dok. pribadi |
Sungai
Musi dan Pulau Kemaro
Kembali
atas panduan temanku, aku disarankan menyambangi Pulau Kemaro. Pulau Kemaro
adalah sebuah pulau kecil yang berada di tengah-tengah Sungai Musi. Menurut
temanku, terdapat sebuah bangunan unik yang berdiri di pulau ini. Bangunan itu
adalah sebuah pagoda. Pagoda?
Mumpung
masih di Palembang, aku ingin segera menuntaskan rasa penasaranku. Khususnya
terhadap pagoda yang terdapat di Pulau Kemaro. Pada Senin, 30 Desember, aku berencana
untuk mengunjungi Pulau Kemaro. Namun sayang, hari itu dimulai dengan hujan.
Kutunggu
hujan yang turun cukup deras tersebut. Palembang yang bersuhu panas, sontak
agak mendingan saat hujan mengguyur kota pempek tersebut. Seusai Zuhur dan
hujan sudah benar-benar berhenti, kulanjutkan plan-ku untuk bergerak
menuju Pulau Kemaro.
Saat
aku bertandang ke Benteng Kuto Besak, sebenarnya aku bisa menuju Pulau Kemaro
dari situ. Di Benteng Kuto Besak terdapat dermaga dan ada banyak kapal yang
menawarkan jasa transportasi ke Pulau Kemaro.
Namun,
temanku menyarankanku untuk menggapai Pulau Kemaro melalui dermaga yang
terdapat di dekat kantor Pupuk Sriwijaya. Setelah kuamati dari google maps, Pulau
Kemaro memang lebih dekat dari dermaga tersebut. Akupun segera melesat ke
dermaga yang dimaksud.
![]() |
Dermaga wisata Pulau Kemaro. Pic source: dok. pribadi |
Dari
gapura yang terpampang, ini adalah dermaga wisata Pulau Kemaro. Beralamat di
Jalan Dr. Ir. Sutami, RT 13/RW 4, Kelurahan Sungai Selayur, Kota Palembang. Ya,
jika dibandingkan dengan dermaga yang terdapat di Benteng Kuto Besak, dermaga
ini relatif kecil dan tentu saja lebih sepi. Namun begitu, aku mendapati
beberapa perahu yang stand by.
Menawar
Tarif Perahu Getek
Dari
dermaga wisata ini, aku sudah bisa melihat keberadaan Pulau Kemaro di seberang.
Termasuk ujung dari pagoda yang sudah nampak di antara rerimbunan pepohonan.
Pupuk Sriwijaya juga terlihat gagah, dan tidak jauh dari dermaga tempatku
berdiri.
Setelah
mengedarkan pandangan ke sekeliling, seorang pemuda mendekatiku. Dia menawariku
jasa perahu dengan sopan.
“Berapa?”
tanyaku singkat.
“Sekali
jalan 100 pak,” jawabnya.
Mendengar
tarif yang diajukannya, aku terhenyak. Seratus ribu sekali jalan? Waoow, bagiku
mahal, hahaa. Aku tak langsung mengiyakannya. Aku tak tahu, apakah tarif segitu
memang pasarannya atau memang dimahalin. Jika 100 ribu sekali jalan, maka
pulang-pergi 200 ribu. Kucoba untuk menawarnya.
“150
pp ya?” lanjutku.
“Ya
pak, silakan,” jawab abangnya singkat.
Alhamdulillah,
lumayanlah. Si abang perahu segera menyiapkan perahunya. Jujur, sepanjang
hidupku bisa dihitung jari, berapa kali aku menaiki transportasi air. Dan kali ini, aku menyebutnya perahu getek. Perahu
kayu dengan mesin di belakangnya.
Dari
ujung dermaga, aku menggapai perahu dengan kadar kehati-hatian yang luar biasa.
Baru saja aku menjejakkan kaki di atas perahu, perahunya sudah
bergoyang-goyang. Aku terus berdoa dalam hati. Huaahh.
Si
abang segera menyalakan mesin, dan bunyi berisik mesin perahu segera
mendominasi telingaku. Perahu getek mulai berjalan. Aku ngeri sekaligus
gembira. Aku tak sempat membuka-buka ponsel untuk sekadar mengabadikan momen.
Aku cuma berharap semoga penyeberangan ini berjalan dengan lancar. Namun aku
masih sempat mengedarkan pandangan ke sekeliling. Melihat riak Sungai Musi yang
sedang kulewati, dan Pupuk Sriwijaya di seberang sana.
Pagoda
Pulau Kemaro
Aku
bersyukur, perahu getek yang kunaiki merapat ke dermaga Pulau Kemaro dengan smooth.
Si abang segera mengikatkan tali perahu ke tiang dermaga. Hap, aku melompat ke
atas dermaga Pulau Kemaro dengan antusias. Tak kusangka, sampai juga aku di
Pulau Kemaro. Angin semilir menyambutku kala pertama menapakkan kaki di pulau ini.
Aku sempat berswafoto dengan latar Pupuk Sriwijaya.
Dermaga
Pulau Kemaro langsung menyambung dengan bangunan berpagar tembok, yang didominasi
warna merah dan kuning. Rupanya, aku langsung memasuki kompleks tempat ibadah
Tridharma Hok Ceng Bio. Ya, terdapat klenteng bernama Hok Ceng Bio yang berdiri
di tengah-tengah Pulau Kemaro.
![]() |
Gapura masuk Klenteng Hok Ceng Bio. Pic source: dok. pribadi |
Memasuki
kompleks Hok Ceng Bio, pengunjung tidak dipungut biaya. Aku sungguh terpana,
ada sebuah tempat ibadah yang berdiri di sebuah pulau kecil seperti ini. Di
pelataran klenteng, aku menemukan sebuah batu prasasti yang dibuat Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kota Palembang. Prasasti ini memaparkan seputar
legenda yang melingkupi Pulau Kemaro.
Berdasarkan
legenda tersebut, Pulau Kemaro dianggap sebagai tempat yang keramat. Untuk itu,
aku berusaha menjaga sikap tatkala berkunjung ke sini. Ya, sebagai wisatawan
dan pendatang, sudah seyogianya kita menjaga sikap dan menjunjung tata krama
ketika mampir ke sebuah tempat. Apalagi tempat-tempat yang dianggap sakral.
![]() |
Batu prasasti Pulau Kemaro. Pic source: dok. pribadi |
Klenteng
Hok Ceng Bio terlihat sepi. Bangunan utamanya digembok. Kala itu barangkali
memang tidak ada kegiatan peribadatan yang sedang berlangsung. Saat aku ke sini,
ada sejumlah pengunjung lainnya yang juga mampir ke Pulau Kemaro dan Klenteng
Hok Ceng Bio.
Aku
berjalan meninggalkan bangunan utama klenteng. Kucari bangunan ikonik yang
memang kutuju. Nah, ketemu. Tak jauh dari bangunan Klenteng Hok Ceng Bio, telah
berdiri sebuah pagoda. Pagoda yang bentuknya identik seperti pagoda-pagoda yang
kerap kulihat di serial Cina atau Taiwan.
Ini
dia. Tak sabar, aku langsung mengambil ponsel dan mengabadikan pagoda ini
beberapa kali. Tentunya juga berswafoto dengan latar pagoda. Sebagai bukti
otentik, bahwa aku telah mengunjungi Pulau Kemaro dan pagoda Klenteng Hok Ceng
Bio.
![]() |
Berswafoto dengan latar pagoda Pulau Kemaro. Pic source: dok. pribadi |
Pagoda
ini terdiri dari sembilan tingkat. Di tangga pagoda, terdapat ornamen naga.
Amat khas Tiongkok. Sejenak aku terpaku. Mengagumi keindahan pagoda ini. Ya,
sungguh menawan. Terdapat sebuah pagoda yang berdiri di sebuah pulau, di mana
pulau ini berada di tengah-tengah sebuah sungai.
Bagiku,
pagoda Hok Ceng Bio bisa menjadi keberkahan tersendiri bagi masyarakat sekitar.
Buktinya, warga bisa mengais rupiah dari usaha penyewaan perahu untuk menyeberang
ke Pulau Kemaro. Sekarang bagaimana pemerintah Kota Palembang dan Sumatera
Selatan, memaksimalkan potensi Pulau Kemaro dan pagoda Hok Ceng Bio untuk
menggenjot sektor pariwisata.
Aku
puas. Sejumlah ikon Palembang khususnya pagoda Pulau Kemaro, telah kukunjungi.
Aku berjalan kembali menuju dermaga untuk pulang. Sebelum kembali ke perahu
getek, aku mampir ke sebuah lapak yang menjual souvenir. Aku membeli magnet kulkas
dan gantungan kunci. Lumayan, buat kenang-kenangan.
![]() |
Pagoda Pulau Kemaro. Pic source: dok. pribadi |
*Artikel ini sudah tayang di telusuri.id
No comments:
Post a Comment