Tuesday, 18 November 2025

Perjalanan Panjang ke Tugu Kilometer Nol Indonesia di Sabang

Saat ini aku masih berdomisili di Sumatera. Oleh karenanya, inilah saat yang tepat untuk mengeksplorasi berbagai daerah yang tersembul di pulau yang berjuluk Andalas tersebut. Kali ini, aku memilih Aceh. Provinsi paling barat Indonesia yang berada di Pulau Sumatera.

Pada liburan Iduladha awal Juni 2025, aku telah menjejakkan kaki di bumi serambi mekkah. Setelah menempuh perjalanan darat selama 10 jam menggunakan bus dari Medan, aku tiba di Terminal Bus Batoh, Banda Aceh. Aku langsung menuju penginapan untuk beristirahat. Objek pertama yang kusambangi adalah Masjid Raya Baiturrahman. Masjid yang menjadi ikon tanah rencong ini terletak di tengah Kota Banda Aceh.

Lantaran sudah sampai di Aceh, rasanya tak afdol jika tidak menghampiri monumen kilometer 0 Indonesia. Monumen ini berada di Pulau Weh, Kota Sabang. Dari Banda Aceh, aku harus menyeberang untuk dapat menggapai Sabang. Sejak aku meniatkan diri untuk berlibur ke Aceh, tugu kilometer 0 menjadi salah satu objek yang berada di top of mind. Aku mengumpulkan berbagai informasi, terkait tugu yang menjadi simbol batas wilayah Indonesia di bagian barat itu.

Tugu Kilometer Nol Indonesia di Sabang. Pic source: dok. pribadi

Menggapai Tugu Kilometer 0 Indonesia di Sabang

Pada Minggu, 8 Juni 2025, aku bergerak menuju Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh. Dari Pelabuhan Ulee Lheue, ada dua pilihan kapal untuk menuju Pelabuhan Balohan, Sabang. Pertama kapal ferry biasa atau ro-ro dengan lama perjalanan sekitar 2 jam. Kedua kapal cepat atau ekspres dengan durasi sekitar 45 menit. Ini adalah estimasi jika kondisi cuaca mendukung.

Niat hati ingin mencoba kapal ekspres untuk menghemat waktu. Nyatanya aku terlambat sampai ke Pelabuhan Ulee Lheue. Sebuah kapal ekspres sudah berangkat pada pukul 10 wib. Sedangkan aku baru sampai jam 10.10, alamak. Jika aku ingin tetap menggunakan kapal ekspres, baru ada jadwal lagi di sore hari. Akhirnya kuputuskan untuk menggunakan ferry biasa. Harga tiketnya sekali jalan 35 ribu.

Ferry yang hendak menuju Sabang akan berangkat pukul 11. Sambil menunggu proses check in, aku mengabadikan situasi di Pelabuhan Ulee Lheue. Mengamati antrean mobil maupun motor untuk masuk ke perut kapal ferry.

Menjelang kapal berangkat, hujan turun. Aku berdoa, semoga kapal tetap berangkat tepat waktu. Dan diiringi hujan, ferry yang kunaiki perlahan menjauhi dermaga Ulee Lheue. Di dalam kapal terdapat sejumlah pedagang yang menjajakan makanan. Kubeli beberapa, untuk mengganjal perut. Mengingat durasi menyeberang ke Sabang cukup lama.

Sekira jam 13, ferry mulai merapat ke dermaga Balohan. Alhamdulillah, aku telah sampai di Sabang! Kala itu, meski tidak hujan tetapi mendung cukup menggelayut di langit-langit Sabang. Ketika hendak ke luar area pelabuhan, aku disambut gapura dengan tulisan “Selamat Datang di Kota Sabang”.

Gapura selamat datang di Pelabuhan Balohan, Sabang. Pic source: dok. pribadi

Begitu ke luar pelabuhan, aku langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mencari tempat yang menyewakan motor. Sebelumnya aku sudah mencari-cari informasi, dengan apa aku bisa mencapai tugu kilometer 0 Indonesia di Sabang. Jalan yang paling mudah adalah menyewa motor.

Tak begitu jauh dari gapura selamat datang Pelabuhan Balohan, aku melihat sebuah toko yang memajang spanduk rental motor. Langsung saja kuhampiri. Dapat. Cuma tinggal satu motor yang tersedia, yakni Honda Beat. Baiklah. Sewa ini seharga 100 ribu.

Aku langsung mengambil langkah seribu dengan membuka google maps. Rute mana untuk menuju tugu kilometer 0. Aku harus bergerak cepat, karena jam 17 aku harus kembali ke Pelabuhan Balohan untuk menyeberang ke Banda Aceh dengan ferry terakhir. Sebelum mengarungi jalanan Sabang, aku mengisi bahan bakar motor di salah satu SPBU.


Tersesat di Belantara Hutan Sabang

Aku mulai berjalan menyusuri jalanan Sabang. Sebentar-sebentar aku melihat google maps sebagai petunjuk. Semoga sinyal provider ponselku tetap kuat di pulau ini. Tak kusangka, aku bisa mengendarai motor di Sabang. Sebuah tempat yang sebelumnya tak pernah terbersit aku akan bisa ke sini.

Selain google maps, aku juga memperhatikan petunjuk arah yang terpasang di sepanjang jalan. Aku mulai gamang, karena rintik hujan mulai turun. Meski aku mengenakan jaket parasut, aku berharap semoga hujan ini cuma terbawa angin dan mereda. Aku terus melaju sesuai petunjuk yang kubaca di google maps.

Perasaanku tiba-tiba tak enak. Dari peta yang kubaca, harusnya aku menyusuri jalanan yang berada di sepanjang pantai. Harusnya, aku masih bisa melihat garis pantai meski samar. Namun, kenapa di sekelilingku yang ada hanya hutan? Aku nyaris tak melihat adanya pantai. Kurogoh ponselku. Klop, sinyal selulerku blank. Aku mulai gusar.

Beruntung sistem google maps masih merekam hendak ke mana arah tujuanku. Dan di momen ini aku baru sadar, bahwa aku ternyata salah jalan. Ok, calm down. Aku langsung memutar balik arah motor. Kugeber motor kembali ke trek yang seharusnya. Aku terus berdoa dalam hati. Jika memang rezekiku bisa menemukan tugu kilometer 0, maka aku pasti sampai ke sana.

Sepanjang perjalanan, rintik hujan masih turun. Aku tak berani melirik arloji. Karena kalau aku melihatnya, aku akan panik. Sinyal seluler ponselku naik turun. Namun aku bersyukur, aku telah kembali ke jalur yang benar. Di sepanjang jalan, hutan belantara Pulau Weh semakin lekat di mataku. Semakin mendekat ke lokasi tugu kilometer 0, intensitas bangunan atau rumah-rumah penduduk semakin berkurang.

Jalan dan rerimbunan hutan menuju Tugu Kilometer Nol. Pic source: dok. pribadi 


Diguyur Hujan Lebat

Cobaan belum berhenti sampai di situ. Setelah sempat salah jalan, aku dihadapkan pada hujan yang terasa mulai deras. Aku mulai panik meski motor masih terus kugas. Tetesan air hujan semakin rapat. Aku mendongak. Ya, mendung seolah cuma berjarak sejengkal di atas kepalaku.

Kumasukkan ponsel ke dalam tas, supaya tak terkena air hujan. Di kanan kiriku, hutan belantara Sabang masih setia menemani. Kemudian, hujan turun semakin deras. Langit seakan-akan sedang menumpahkan semua persediaan airnya kepadaku. Nyaliku mulai ciut. Nyaris tak ada pengendara lain yang ada di depan maupun belakangku.

Aku mulai menggerutu. Ya Tuhan, aku hanya ingin tahu seperti apa monumen kilometer 0 di Sabang. Itu kalimat yang berkali-kali kubisikkan kala itu. Aku sempat berhenti di pinggir sebuah bangunan. Sepertinya penginapan. Apa aku menyerah saja? Kulihat jaketku yang basah karena tak mampu menghalau derasnya air hujan waktu itu. Air hujan juga telah menembus tasku.

Namun aku segera menepis rasa itu. Kepalang tanggung. Aku kembali menggeber motor sewaan yang sedang kunaiki ini. Kulanjutkan tekad untuk menghampiri tugu kilometer 0. Aku sudah berniat sejak dari Pelabuhan Ulee Lheue. Masa lantaran hujan, aku menyerah? Padahal menurut peta, monumennya sudah tidak jauh lagi.

Kulanjutkan perjalanan dengan hati-hati. Namun ajaibnya, hujan deras ini perlahan berhenti. Kurasa tak sampai sepuluh menit, hujan mereda dan berubah menjadi gerimis kecil-kecil. Masyaallah, aku sungguh bersyukur. Semangatku kembali bertambah untuk menggapai tugu kilometer 0.

 

Menyentuh Tugu Kilometer 0 Indonesia

Aku melihat keramaian dari kejauhan. Rupanya aku sudah sampai. Aku memarkir motor di tempat parkir yang tersedia. Kubersihkan kacamataku dari butir-butir air hujan, kemudian berjalan menuju tugu kilometer 0. Angin yang bertiup cukup kencang menyambutku, begitu aku melihat penampakan tugu kilometer 0 yang masyhur itu. Akhirnya, aku mencapai tujuanku. Ini tugu kilometer 0 Indonesia di Sabang!

Pengunjung Tugu Kilometer Nol. Pic source: dok. pribadi

Tatkala aku melihat tugu kilometer 0 ini, ada sebuah rasa yang membuncah. Barangkali ini yang namanya nasionalisme. Tugu yang ada di depan mataku ini memang bukan titik terluar Indonesia secara riil. Namun, monumen ini menjadi simbol wilayah Indonesia. Menjadi penanda batas kedaulatan Indonesia.

Menurut informasi yang kubaca, tugu kilometer 0 Indonesia di Sabang ini memiliki kembaran di Merauke, Papua. Kalau kuamati detail, tugu kilometer 0 ini mempunyai ornamen berbentuk lingkaran. Lingkaran yang menyimbolkan angka 0. Simbol ini mewakili maksud didirikannya tugu ini sebagai penanda, sebagai titik awal diukurnya wilayah Indonesia di bagian barat.

Namun sayangnya, aku tidak bisa menaiki tangga untuk mengeksplorasi bagian atas tugu kilometer 0 ini. Jika diamati lebih saksama, ada sejumlah komponen yang sudah rusak pada bagian lingkarannya. Untuk mencegah pengunjung naik ke atas, pihak pengelola tugu kemudian memasang kawat berduri di akses tangga yang mengarah ke atas.

Tangga di Tugu Kilometer Nol yang dipasangi kawat. Pic source: dok. pribadi 

Setelah puas memandangi tugu berwarna biru tersebut, aku berjalan ke sekeliling. Waoow, persis di depan tugu, terpampang samudera yang nyaris tiada ujung. Sungguh jelas di telingaku, deburan ombak lautan lepas. Sekali lagi aku merinding. Tugu kilometer 0 ini tak pelak kembali mengobarkan sense of belonging atas Indonesia.

Monumen kilometer 0 di Sabang sudah kukunjungi. Bucket list telah terpenuhi. Setelah puas berfoto dan mengambil video, aku bergegas pulang. Sebenarnya aku ingin menghampiri aneka kedai yang terdapat di sekitar tugu kilometer 0. Kedai-kedai ini menjajakan aneka makanan khas Aceh, cemilan dan berbagai jenis souvenir. Tetapi karena aku harus segera kembali ke Pelabuhan Balohan, kuurungkan niatku untuk singgah.

Saat berjalan menuju Pelabuhan Balohan, aku merenung sejenak. Hujan apa yang tadi menimpaku kala berjalan menuju tugu kilometer 0? Apakah mungkin itu hujan lokal? Ahh, kuanggap itu adalah hujan “selamat datang” dari segenap alam Pulau Weh untukku.

Aneka kedai di area Tugu Kilometer Nol. Pic source: dok. pribadi

*Artikel ini sudah tayang di telusuri.id


No comments:

Post a Comment