Sunday 19 December 2010

Honor Pertama

Pengumuman Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) 2006 menjadi momen yang pantang kulupakan. Kusebut diriku amat konvensional. Karena bagiku, menembus SPMB berarti sebuah prestasi. Prestasi sekaligus kebanggaan. Tentu saja, lolos SPMB masih menjadi salah satu harapan tertinggi bagi seorang lulusan SMA seperti aku, kala itu.

Menjejakkan kaki di perguruan tinggi negeri adalah sebuah impian, yang rupanya menjadi kenyataan. Seolah melayang jauh ke awang-awang, ketika mendapati nama lengkapku tertera di papan pengumuman SPMB di salah satu universitas di Malang. Ya, aku mendapatkannya, pekikku girang dalam hati.

Berhasil menuntut ilmu di universitas negeri memang sebuah kebanggaan. Itu yang kumaksud dengan konvensional. Masih kuingat mimik sendu bercampur haru di raut bapak ibuku, saat mengetahui anaknya menjadi salah satu yang beruntung bisa menembus ketatnya ujian SPMB. Karena SPMB identik dengan biaya masuk kuliah yang masih cukup terjangkau, kala itu.



Yap, kujalani kuliah dengan penuh sukacita. Berharap ikhtiar menuntut ilmu ini bisa meningkatkan derajat kualitas hidup. Baik diriku, maupun keluargaku. Akupun mulai mengenal, bagaimana dunia mahasiswa. Mahasiswa, sebuah istilah yang mulai kukenal sejak reformasi bergulir pada 1998. Tahun dimana aku masih kelas 4 sekolah dasar. Mahasiswa, identik dengan tugas-tugas yang menumpuk dan sering pulang terlambat ke rumah. Seperti yang kuamati dari kakakku.

Sekarang giliranku. Menjadi seorang mahasiswa. Akupun mulai memahami, betapa bervariasinya seseorang yang bergelar mahasiswa ini. Ada mahasiswa yang begitu getol dalam proses perkuliahan. Sehari-hari golongan ini tak pernah luput ke perpustakaan, atau selalu yang terdepan dalam urusan akademis. Tak salah lagi, indeks prestasi mereka sangat melejit. Calon cumlaude, batinku.

Ada juga tipe mahasiswa yang kelihatannya menganggap kuliah cuma sebagai selingan. Mereka lebih sering berada di kantin sambil nongkrong-nongkrong, ketimbang mengikuti ceramah dosen di kelas. Entah bagaimana perasaan orangtua mereka, mendapati anaknya hanya berleha-leha ria, tanpa ada perjuangan di dalam kampus.

Atau, mahasiswa yang sangat aktif dalam merespon setiap isu atau peristiwa yang sedang terjadi. Aku juga menemukan rekan-rekan seperti ini. Mereka memang setiap hari datang ke kampus. Namun keseharian mereka diisi dengan berbagai aksi unjuk rasa. Baik itu mengkritisi soal tarif parkir di area kampus, hingga masalah besar seperti kenaikan harga BBM.

Aku menjadi bertanya-tanya dalam hati. Aku termasuk ke dalam tipikal mahasiswa yang seperti apa? Mahasiswa yang bagaimana? Kuikuti saja hati nurani ini berkata. Di fakultasku, terdapat sebuah kelompok peminat tulis-menulis. Writing Club namanya. Inilah organisasi pertama yang kuikuti sejak aku menjadi mahasiswa.

Harus kuakui, aku bukanlah tipikal mahasiswa yang terdepan dalam hal akademis. Juga, aku tak begitu tertarik untuk terjun di dunia aktivis. Aktivis yang kadang terombang-ambing dalam kepentingan semu dunia politik, yang sepertinya telah merambah bebas di dalam kampus.

Lantas? Lebih baik aku menyibukkan diri dengan kegiatan yang mungkin bisa kuasah. Salah satunya dengan bergiat di writing club ini. Menulis, aktivitas ini menjadi alternatif yang amat menarik dimataku. Aku memang orang yang belum terbiasa untuk menyampaikan pemikiran dengan lisan. Maka, dengan menulis aku bisa menyalurkan segala uneg-uneg yang menyembul di benak dan hatiku.

Pena lebih tajam daripada pisau.

Ungkapan diatas merupakan satu diantara sekian banyak motivasi yang kudapat, setelah aku bergelut dengan dunia tulis-menulis. Bagiku, menulis bisa menjadi ajang berekspresi. Tak kalah dengan rekan-rekanku yang lebih memilih berdemonstrasi untuk menyampaikan pendapatnya.

Aku harus selangkah lebih maju. Sangat disayangkan jika segala buah pikiranku hanya tersimpan di harddisk komputer. Orang lain tak akan pernah tahu, pikiran dan pendapatku akan sesuatu. Maka, aku perlu memanfaatkan media massa di sekeliling untuk membantuku mengatakan kepada dunia, bisik hati kecilku.

Baiklah. Kucoba dengan serius menulis sebuah opini. Kukirim ke salah satu harian lokal yang beredar di Malang. Sehari, dua hari, belum ada kabar. Ahh.... mungkin tulisanku masih perlu diperbaiki. Belum layak muat, batinku membesarkan hati. Kecewa. Rasa ini yang dominan menghinggapiku, setelah sebulan lamanya tulisanku tak ada kabarnya.

Aku masih harus sering berlatih.

Masih kujalani aktivitas perkuliahan seperti biasa, sembari terus menulis dan mencoba mengirimkannya ke koran-koran. Kumanfaatkan perpustakaan daerah yang ada di Malang, untuk menopang referensi bahan kuliah. Di suatu hari, aku tertarik untuk membaca-baca koran yang selalu disediakan di lobi perpustakaan tersebut. Ada banyak koran yang disediakan untuk pengunjung. Tak hanya koran lokal, tetapi aku juga mendapati beberapa koran nasional yang berbasis di Jakarta.

Ada satu yang menarik perhatian. Seputar Indonesia. Sejenak, aku menghubungkannya dengan sebuah program berita di salah satu stasiun teve. Kubuka lembar-lembarnya. Ouchh....!!! Mataku terpaku pada halaman opini koran ini. Ada rubrik di halaman opini yang membuatku melotot. Suara Mahasiswa, nama rubriknya.

Kubaca sekilas opini yang sedang dimuat pada rubrik Suara Mahasiswa ini. Di dalamnya juga tercantum nama dan almamater mahasiswa si pengisi rubrik. Yang membuatku semakin excited, rubrik ini dikhususkan untuk penulis dari kalangan mahasiswa, sesuai judul rubriknya.

Wow...! Tak bisa dipungkiri, honor menjadi salah satu motivasiku dalam setiap ikhtiar mengirim tulisan. Meski jumlahnya tak seberapa, namun akan muncul kebanggaan tersendiri, bila berhasil mendapatkan rupiah dari hasil “keringat” sendiri.

Aku masih ingat betul. Mei 2008 adalah masa yang mungkin sulit dilalui oleh presiden SBY. Kala itu, harga minyak mentah di pasar dunia sedang melonjak drastis. Membuat segala perencanaan menjadi amburadul. Dan salah satu cara untuk mengurangi keamburadulan itu, mau tak mau pemerintah harus menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Tak pelak, di Jakarta terjadi bentrokan cukup dahsyat antara mahasiswa sebuah universitas dengan aparat keamanan. Bahkan, sempat terjadi penangkapan puluhan mahasiswa dari universitas bersangkutan, yang dinilai mengganggu ketertiban umum.

Sebagai sesama mahasiswa, sekaligus rakyat biasa pengguna BBM, aku menyayangkan peristiwa itu. Kutulis reaksi dan pemikiranku atas peristiwa tersebut. Kembali aku mencoba mengirimkannya ke koran. Motivasiku tak semata honor. Bagiku mengutarakan opini tak harus melalui aksi demo yang berujung anarki. Mengirim opini yang kemudian bisa dimuat, menurutku juga termasuk upaya untuk menyampaikan pendapat.

Kali ini aku memilih Seputar Indonesia sebagai labuhan tulisanku. Semoga beruntung, harapku. Dan rupanya doaku terkabul. Selang tiga hari sejak aku mengirimkan opiniku tersebut, aku mengalami peristiwa yang begitu mengguncang.

Hari Kamis, tanggal 29 Mei 2008, akan menjadi salah satu momen bersejarah dalam hidupku. Untuk pertama kalinya, tulisanku dimuat di harian nasional!!!!
It was great! Seputar Indonesia memilih opiniku yang berjudul “Demonstrasi dan Gerakan Mahasiswa” untuk mengisi rubrik suara mahasiswa, di edisi yang juga genap dua tahun tragedi semburan lumpur Lapindo itu.

Ingin rasanya aku bersorak girang, ketika pegawai Seputar Indonesia menghubungiku via ponsel. Memastikan nomor rekening bank untuk kemudahan transfer honor. Alhamdulillah..... rezeki memang tak kemana. Allah mendatangkan berkah melalui jalan yang benar-benar tak kusangka.

Bahagia rasanya, mendapati tulisanku yang termuat di halaman sebuah koran berskala nasional. Sampai sekarang, aku masih menyimpan Seputar Indonesia edisi 29 Mei 2008 tersebut. Buah pikiranku yang termuat di dalamnya, sering kugunakan untuk mencambukku agar berusaha lebih baik.

No comments:

Post a Comment