Saturday 9 January 2016

Dibalik (Film) Jendral Soedirman

Aku pribadi adalah orang yang selektif dalam memilih film yang hendak ditonton di bioskop. Menonton film di bioskop sudah pasti merogoh kocek yang nominalnya setara dengan beberapa bungkus batagor. Aku baru memutuskan pergi ke bioskop bila ada sebuah film yang benar-benar mengundang rasa penasaranku. Apalagi jika film tersebut produksi dalam negeri.

Di penghujung Agustus 2015 barusan, muncul satu film yang dari judulnya saja, aku pribadi sudah amat tertarik. Film itu bertajuk Jendral Soedirman. Sejak duduk di sekolah dasar, aku selalu memperoleh pelajaran sejarah, dimana Jendral Soedirman adalah tokoh pejuang yang penting dan luar biasa. Beliau rela berperang secara gerilya, walau sedang terserang penyakit.

Ketika muncul kabar bahwa film Jendral Soedirman akan segera tayang di bioskop, aku cukup antusias. Aku penasaran dengan cerita yang hendak disuguhkan dalam film layar lebar tersebut. Aku ingin rasa keingintahuanku terjawab akan sosok Soedirman. Tokoh yang sepak terjangnya tertulis istimewa di buku-buku sejarah.

Aku ingin sekadar menceritakan pengalamanku saat menonton Jendral Soedirman di hari pertamanya tayang (premiere) di bioskop kemarin. Sebenarnya aku tak terlalu kaget, saat mendapati kursi di teater yang terisi tak sampai separuh. Ini film sejarah, bung! Jendral Soedirman tak ubahnya film bertema cukup berat, yang memang kurang cocok jika menjadikan film ini sebagai sarana untuk relaksasi atau refreshing.

Mungkin akan lain ceritanya bila film yang diputar adalah film bergenre horor atau bernuansa romantis yang dibintangi aktor dan aktris remaja yang sedang naik daun. Atau film-film produksi Hollywood yang visual effect-nya sungguh sempurna memanjakan mata dan imajinasi.

Jendral Soedirman dibuka dengan adegan pemilihan pucuk pimpinan tentara Republik Indonesia, yang dimenangkan oleh Soedirman. Setelah beberapa adegan berikutnya, alur cerita melompat ke masa Desember 1948. Ketika ibukota Indonesia berada di Jogjakarta. Belanda melalui agresi militernya, berusaha membabat Republik Indonesia dengan menyerang Jogja. Kota Jogja dan pangkalan udara Magoewo (sekarang bandara Adi Sutjipto) jatuh ke tangan Belanda.

Menyadari situasi yang genting ini, Jendral Soedirman memutuskan untuk berperang dengan cara gerilya. Ia tidak mengikuti anjuran Soekarno untuk bertahan di dalam kota Jogja. Soedirman lebih memilih berperang, selayaknya seorang tentara.

Cerita terus bergulir menunjukkan lika-liku perjalanan Jendral Soedirman dan anak buahnya yang menembus medan-medan sulit untuk berperang. Selayaknya film peperangan, banyak adegan tembak-menembak dan bom-bom yang meledak. Film diakhiri dengan adegan dimana Jendral Soedirman menuruti perintah Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengakhiri perang gerilya dan kembali ke Jogja.

***

Bagiku, film Jendral Soedirman bukan hanya sekadar meng-capture perjalanan sang jendral dalam melakukan perang gerilya dari Desember 1948 hingga Juni 1949. Melainkan juga ingin menggarisbawahi sikap-sikap yang diambil oleh Soedirman, sebagai seorang tentara (baca: angkatan bersenjata).

Di awal film, terpampang rentetan tulisan yang menunjukkan siapa-siapa saja yang memproduksi film ini. Pihak pertama yang disebut adalah Letjen (purn) Kiki Syahnakri. Lalu ada Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD). Kemudian Yayasan Kartika Eka Paksi. Baru disusul Padma Pictures.

Aku yakin, Padma Pictures adalah production house yang menjadi operator dalam proses produksi film Jendral Soedirman. Namun hal yang menarik adalah pihak-pihak lain yang turut berperan dalam produksi film ini. Mereka-mereka yang “berbau” TNI Angkatan Darat.
Fakta ini bukanlah sesuatu yang ganjil. Karena Jendral Soedirman pun merupakan bagian dari angkatan bersenjata. Beliau adalah orang militer, bukan sipil. Karena itulah, setelah menonton film ini sampai habis, aku memiliki beberapa kesimpulan.

Diantaranya ketika Jendral Soedirman menolak ajakan Soekarno untuk bertahan di dalam kota Jogja. Sang jendral lebih memilih berperang secara fisik untuk melawan tentara Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia, meski dengan taktik gerilya karena keterbatasan serdadu dan senjata.

Adegan ini ingin menunjukkan, “perbedaan” antara seorang militer dengan kalangan sipil. Sosok angkatan bersenjata sejati tak gentar untuk berperang secara terbuka. Berani mengangkat senjata, walau pihak lawan unggul dalam jumlah persenjataan dan personel. Lain halnya dengan pihak sipil, yang kali ini “diwakili” oleh Soekarno dan Hatta. Mereka lebih memilih berdiam di Gedung Agung Jogja, sambil mengusahakan jalan diplomasi untuk mengakiri pertikaian.

Tidak hanya itu. Ada juga adegan dimana Jendral Soedirman marah, dengan sikap-sikap yang diambil pemerintah yang masih mau untuk melakukan perundingan dengan Belanda, yang dimediatori PBB melalui Komisi Tiga Negara (KTN). Baginya, perundingan tersebut tak ubahnya mengurangi derajat kemerdekaan yang dimiliki Republik Indonesia. Jendral Soedirman hanya menginginkan kemerdekaan penuh! Indonesia yang berdaulat seratus persen.

Kemarahan Jendral Soedirman ini menyiratkan, bahwa pihak militer tidak “dilibatkan” dalam pengambilan keputusan terkait sikap pemerintah di masa pasca agresi militer kedua oleh Belanda.

Hal yang menarik berikutnya, di tengah-tengah melakukan perjalanan gerilya, pasukan Jendral Soedirman menemui pihak yang juga mengenakan atribut tentara. Namun yang membedakan, di seragam tentara-tentara ini terdapat corak berwarna merah. Dari alur cerita, dapat disimpulkan bahwa tentara ini bukanlah tentara resmi Republik Indonesia. Melainkan sisa-sisa personel Partai Komunis Indonesia yang melakukan pemberontakan di Madiun.

Adegan ini semakin menguatkan, bahwa film Jendral Soedirman tak sekadar menceritakan perjalanan sosok Soedirman. Tetapi turut menegaskan peran dan kontribusi angkatan bersenjata, dalam menegakkan kemerdekaan dan memberangus pihak-pihak yang bertentangan dengan dasar negara Pancasila.

Satu adegan yang menurutku menarik adalah, ketika Jendral Soedirman tidak mau menuruti perintah Soekarno untuk kembali ke Jogja, setelah terjadinya kesepakatan untuk menghentikan kontak senjata. Sang jendral baru mau menurut, saat Sri Sultan Hamengku Buwono IX menitahkan perintah yang sama kepadanya.

Akhirnya, Jendral Soedirman kembali ke Jogja. Di Gedung Agung, beliau telah disambut Soekarno, Hatta, dan tokoh lainnya. Lagi-lagi aku menemukan adegan yang menggelitik. Saat menyambut Soedirman dengan pelukan, Soekarno meminta seorang fotografer untuk memastikan bahwa gambar yang diambilnya sudah tepat! Saat dimana ia menyambut dan memeluk hangat Soedirman. Seolah ingin menggambarkan sosok Soekarno yang “sadar kamera” dan butuh publisitas positif.

Bagiku, film Jendral Soedirman tak sekadar ingin menceritakan perjuangan sang jendral besar. Tetapi juga ingin membumikan sikap militer yang patriotis. Karakter angkatan bersenjata yang rela berkorban, yang menjadikan tanah air lebih berharga ketimbang hal lainnya.

Pesan ini barangkali ingin disampaikan di masa sekarang. Dimana kedaulatan penuh sudah berada dalam genggaman. Pemerintahan baik di pusat dan daerah yang tak lagi didominasi kalangan purnawirawan militer. Bahwa angkatan bersenjata tetap dan akan selalu menjadi pihak yang berada di garda terdepan dalam mempertahankan kedaulatan dan keutuhan bangsa dan negara. Termasuk menjadi perisai yang memagari ideologi Pancasila, dari berbagai gangguan yang mengancam.

Last but not least, kurasa bagi siapapun yang masih menyimpan rasa patriotis kepada Indonesia, seusai menonton film ini, dijamin rasa itu akan meningkat berlipat-lipat. Sense of belonging terhadap bangsa dan negara Indonesia akan menebal seketika!